#71: Berkumpul

1.3K 254 25
                                    

Kem, enggan turun dari singgasana Permaisuri. Kursi yang dulu pernah ditempatinya, dan kemudian kini menjadi milik Siger. Kembaran Cahaya yang kini dirawat di Kaputren milik Cahaya yang sempat ditempati paksa oleh Lathi Sera.

"Mayat Umami dan Lathi Sera belum ditemukan, Ibu Suri." kata prajurit.

Kem mendadak naik darah mendengar itu,"Cari sampai ketemu!"

Kesal betul dia dengan kelakuan prajurit istana. Masa menemukan mayat Umami dan Lathi Sera saja sulitnya minta ampun? Padahal, semua mayat korban perang saudara sudah ditumpuk dalam pedati-pedati istana, bersiap untuk dibuang di hutan. Tapi mencari dua mayat saja repot.

Apa mereka sebenarnya, masih hidup? Kem menggigit bibirnya.

Dia ingat, telah menghujamkan trisula pada dada Lathi Sera. Kalau Umami, dia tidak tahu. Konon dia mati karena ditusuk Lathi Sera, saat menahan wanita itu memasuki Kaputren Ibu Suri. Cuma, kok bisa kedua mayat itu lenyap semua?

Apakah ada yang menyembunyikan? Apakah perlu harus mengkhawatirkan keadaan yang mungkin bisa mengerikan? Kem mengetukkan jemari di kursi, lalu merenung.

Tapi kondisi istana sudah dijamin aman dan terkendali. Mungkinkah karena dia kini yang mengatur semuanya di segala lini? Anggada masih tampak depresi dengan kematian Lathi Sera, bahkan dia tidak menanyakan anaknya, Wangsakerta. Juga kesehatan Siger.

Hal itu, sangat menguntungkan Kem. Memudahkannya untuk mengatur segalanya, seperti sejak awal.

Entah mengapa dia menyukai situasi itu. Dia merasa bahagia. Bahkan dia tidak berpikiran buruk dengan nasib Cahaya dan Ara, yang bersama Vina, dalam kawalan Patih Jemoga. Juga Surti yang berjalan di lorong bawah tanah sendiri, sambil menggendong Wangsakerta, menantikan jemputan Patih Jemoga.

"Mereka semua akan baik-baik saja. Tetapi istana saat ini, sedang sangat membutuhkan aku." kata Kem, sambil tersenyum.

****

Rumah Bidadari, ternyata begitu luas. Nawang Sari, menyuruh Cahaya, Vina dan Ara untuk beristirahat di salah satu kamarnya. Tetapi, saat melewati kamar lain, Vina mendadak terhenti. Dia melihat seorang wanita tidur bersama bayinya.

"Itu Jihan dan Jenar, bukan?" tanyanya.

"Betul, mereka sedang tidur." sahut Nawang Sari.

Saat Vina, Cahaya dan Ara sudah memasuki kamar, Nawang Sari cepat menutup pintu.

"Siapa mereka?" bisik Cahaya.

Nawang Wulan menggeleng,"Aku pernah bertemu mereka, tetapi dengan wujud nenek-nenek."

"Bisa berubah, begitu?"

"Entahlah, bingung juga."

"Mereka baik?"

Nawang Wulan menghela nafas, lalu menatap Cahaya. "Aku yakin, mereka ada niat yang kurang baik. Tapi ini sudah malam, kita juga bingung mau ke mana. Sementara kusir tadi, katanya kan masih menjemput penumpang lain?"

"Itu bukan penumpang, itu Syura yang menggendong Pangeran Wangsa."

"Semakin membuat bingung. Tapi, bagaimanapun, aku adalah Nenekmu. Ibu dari Kemuning, maka aku akan menjagamu dan Ara."

"Kemuning siapa?"

"Ibumu."

"Ibundaku, Dewi Larasati."

Vina tersenyum,"Dulu dia memang kuberi nama Larasati Nawang Wulan. Tapi diganti Uwaknya jadi Kemuning."

"Uwaknya?"

"Iya, sama Uwak yang di Jakarta."

"Djokorto?"

"Jakarta."

"Kadipaten baru? Atau Pedukuhan?"

"Ibukota Negara."

"Ibunya Nagara kan Nyi Larang?"

Vina mengernyitkan dahi,"Nyi Larang? Mertuaku tadi, yang kalian sebut-sebut Nyi Larang itu? Aku sampai cuma bisa diam. Malas beradu pandang dengannya. Sebagai mertua dan menantu, kami memang sulit akur."

"Nyi Larang, mertua..."

"Namanya bukan Nyi Larang! Dia itu nama lengkapnya Nyai Larangan, ibunya Naga, mantan suamiku. Mertua paling judes dan mengerikan. Dia memang sedikit aneh, kemana-mana selalu membawa teman-temannya. Kayak mau tawuran. Biang gosip semua. Berlagak main Ratu-ratuan aja tuh mereka, setiap hari kayak anak kecil. Masa mau ambil kayu bakar di hutan saja, harus pake baju kawinan dan kostum pager ayu sewaan milik Ibunya Si Dewa? Sama gilanya tuh mereka sama si Dewa."

Cahaya menggaruk-garuk kepalanya. Dia makin bingung.

***

Ruang tengah bidadari yang berkarpet tebal nan lembut, dijadikan balai pertemuan. Mereka duduk berkeliling, sementara Patih Jemoga terbaring pingsan. Namun luka-lukanya telah diobati oleh para bidadari.

"Besok pagi, dia sudah sembuh." kata Nawang Sari, memecah kesunyian.

Dewawarman memandang Aki Tirem, lalu melirik Nyi Larang yang masih dikelilingi dua dayang setianya. Rasa cinta terhadap wanita itu sudah membeku, tetapi kebencian juga tak ada, mengingat saat ini mereka sedang bersekutu.

"Sekarang, kita beri kesempatan Aki Tirem, untuk menjelaskan hal ini..." kata Dewawarman.

Tetapi tiba-tiba, terdengar suara pedati di luar. Dari pintu yang terbuka, terlihat Umima turun dari pedati, dibantu Karso.

Nawang Sari lalu bangkit, memeluk Umima dan mempersilahkannya untuk Duduk. Sementara Dewawarman langsung berdiri dan mendekati Karso yang berdiri sambil membungkuk.

"Kau harus kembali," bisik Dewawarman.

Karso terperangah,"Aduh, jangan Raja. Saya betul-betul takut kembali ke istana. Sa-saya takut, wanita itu tahu saya bersekongkol untuk..."

"Patuhi perintah saya. Semua akan baik-baik saja!" tegas Dewawarman, membuat Karso cepat membungkuk, lalu bergegas naik pedatinya dan menghilang memasuki gelapnya hutan.

Setelah Dewawarman kembali duduk, giliran Umami yang berbicara, sambil berpegangan tangan pada Nawang Sari.

"Tak ada yang tahu jika aku pergi bersama Karso, saat situasi masih genting. Tisna, menyuruhku cepat melarikan diri. Sebelum dia berlari ke Kaputren Siger.
Kami lalu bersembunyi di belakang pasar, menanti semuanya mulai gelap agar bisa menuju hutan." kata Umima.

Dewawarman tersenyum,"Tisna dan Karso, sangat bisa diandalkan. Selalu setia. Mereka berdua, sangat kutugasi untuk tetap memata-matai di istana. Jabatan mereka cuma prajurit dan kusir. Tak bakal ada yang curiga."

Umima mengangguk,"Ya. Tak bisa mengandalkan pejabat istana yang hanya berpihak pada jabatan, bukan kesetiaan."

Nawang Sari tersenyum menatap Umima,"Aku senang, kau selamat. Kita selalu bersahabat sejak dulu. Sama-sama membesarkan keponakan kita, Dewi Pohaci Larasati."

"Kita mengenalnya, dan kini kehilangannya."

"Dan sebentar lagi, kau juga akan kehilangan kami."

Umima mulai terisak, diiringi tangisan pilu para bidadari cantik itu.

"Sudah... sudah... kita harus menyelasaikan masalah ini dulu. Menangis cuma membuat solusi kita menjadi lambat!" kata Dewawarman sedikit kesal.

Aki Tirem menepuk pundak Dewawarman, lalu tersenyum.

"Saya senang kita berkumpul di sini, agar segala kesalahpahaman ini menjadi terang. Jadi, izinkan saya bercerita tentang hal sebenarnya..."

(Bersambung)

Suku yang HilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang