#12 Nina Wulan

1.9K 308 38
                                    

Mobilnya, kembali ke rumah. Tetapi anaknya, tidak. Kem menarik nafas panjang, saat Naga menyerahkan kunci mobil padanya.

"Sudah saya perbaiki pas di kampung, Mbak Kem. Silahkan dicek lagi"

"Tak apa, terima kasih ya. Nyasar nggak tadi?"

Naga tersenyum,"Lumayan bingung tadi, Mbak. Muter-muter nyari alamat"

"Oh, maaf merepotkan. Oh iya, dengan siapa ini?"

Seorang gadis kecil, tampak memeluk lengan Naga dengan semakin erat. Dia tampak takut memandangi Kem. Parasnya sangat menawan. Putih, imut, menggemaskan. Jauh dibandingkan dengan sosok fisik bapaknya yang terlihat biasa, kumal dan hitam. Kem menebak, mungkin ibu anak itulah yang menurunkan kecantikan lahiriah tersebut.

"Ini Nina Wulan, mbak. Anak saya. Kemana-mana ikut saya"

"Mamanya?"

"Istri saya menghilang lama, Mbak. Kabar terakhir, katanya jadi TKW"

"Kabar terakhir?"

"Iya, Mbak. Sudah setahun tidak mengirimkan kabar lagi. Dia pergi tanpa pamit, dibujuk bekas tetangga untuk jadi TKW"

"Kok tidak dilarang?"

"Susah dibilangin. Memang dari anak saya ini bayi, dia sulit dilarang untuk sering berpergian. Jarang di rumah"

Kem mempersilahkan Naga dan Nina Wulan masuk ke rumahnya. Surti, lalu mengantarkan minuman dan makanan ringan ke ruang tamu bagian dekat taman samping, dimana Nina Wulan tampak begitu riang duduk ditepi kolam yang dihuni ikan-ikan koi.

Naga, mengatakan akan segera kembali ke Bogor naik bis di terminal. Tetapi Kem, memintanya untuk duduk ngobrol sebentar, sambil menyerahkan uang upah Naga, dalam sebuah amplop. Ada banyak hal yang ingin ditanyakan Kem, pada Naga.

"Apa Kang Naga sering melihat hal aneh saat tinggal di kampung atas bukit itu?"

Naga meletakkan gelas es limun segar dengan tergesa, lalu menggeleng.

"Semua baik-baik saja"

"Orang-orang di sana?"

"Baik. Cuma..."

"Cuma apa?"

Naga terdiam sesaat, lalu mengangkat bahunya.

"Saya tidak suka dengan Nenek 7 Bidadari. Entahlah, mereka seperti senang sekali membuat anak saya menangis"

"Nina Wulan, diganggu?"

"Selalu. Seperti benci sekali dengan anak saya. Makanya, saya malas tinggal di kampung itu. Tidak mau mencari masalah. Kita dari segi usia saja beda jauh dengan mereka. Mau ribut juga tidak baik"

"Kalau hubungan Bapaknya Kang Naga, Pak Nagara, dengan mereka?"

Naga tertawa,"Nagara itu sebetulnya nama saya, Mbak. Dulu orang nyebutnya, Bapaknya Si Nagara. Nama asli Bapak saya itu, Trimo. Cuma logat Sunda nyebutnya, Tiremo. Lama-lama jadi Tirem. Oh, ya... Abah juga tidak suka dengan mereka"

"Kenapa?"

"Nenek-nenek itu menuduh Abah seorang pencuri!"

"Hah?"

"Iya, katanya Bapak kami seorang pencuri. Entah mencuri apa. Kata Abah, nggak usah didengerin, karena itu fitnah.

"Kalian warga asli sana?"

"Bukan. Nenek moyang kami merantau dari Jawa, cuma karena Kakek saya itu orangnya rajin dan ngemong, jadi diberi mandat jadi Ketua Kampung dulunya. Sampai keturutan Bapak sekarang. Kami jadi orang Sunda, pas Abah nikah sama Umi"

Suku yang HilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang