Vina memejamkan mata, meski tangannya erat berpegangan pada pinggang prajurit Tisna. Hutan itu, begitu gelap. Kepekatan tebal tanpa cahaya. Tetapi Tisna mampu mengendalikan kudanya tanpa kesulitan, seolah semuanya terang di depannya.
Ini bukan perjalanan yang menyenangkan. Ini kali kedua dia berproses menembus hutan, sekaligus waktu. Tetapi kini, anehnya proses perjalanan terasa lebih cepat.
Entah tahun berapa itu, tetapi beberapa saat kemudian, Vina seakan kembali melihat istana perak itu. Sesuatu yang sangat dikaguminya. Alangkah indahnya! Dan betapa mewahnya!
Saat memasuki istana, Vina dibuat gemetar. Baru pertama kalinya dia melihat tempat seindah itu. Batu-batu alam berwarna-warni, menjadi lantai yang licin kokoh, karpet tebal berbulu lembut, mengisi hampir setiap sudut dengan bantal-bantal berbungkus sutra.
Taman istana itu, juga sangat sempurna, meski penerangnya hanya berupa obor dan lampu yang seperti diberi minyak. Begitu banyak bunga, begitu sejuk air terjun kecilnya, dan air kolam seakan mengalir mengelilingi istana itu dengan begitu banyak ikan hias.
Tetapi anehnya, tempat itu berbau sangat amis. Vina sampai mual dan ingin muntah. Apalagi ketika dia melihat beberapa percikan darah yang tersisa di lantai. Tak lama kemudian, beberapa prajurit datang menyiramkan air yang penuh bunga mawar, sehingga bau amis itu sedikit hilang.
"Ikuti saya," perintah Tisna, sambil terus bergegas melangkah memasuki Ruang Raja.
Beberapa prajurit sempat menahan Tisna, tetapi Tisna dengan tegas berkata,"Saya bersama tamu penting Ibu Suri."
Pintu terbuka, dan masuklah mereka pada ruangan yang sangat luas dan mewah, dengan karpet beludru merah disulam emas sebagai alas bagian lantainya.
Vina ternganga, di depannya, kini nampak Kemuning sedang duduk di singgana dengan dayang-dayang yang sibuk mengipasinya. Tapi dia segera berlutut mengikuti Tisna, karena khawatir salah menjaga sikapnya.
"Saya membawa Bidadari Nawang Wulan, Ibu Suri. Dia kembali..." kata Tisna, bersujud, sebelum pamit untuk meninggalkan tempat itu.
Ibu Suri, memberi kode para dayang untuk meninggalkannya. Hingga kemudian, ruangan itu hanya diisi mereka berdua.
"Kenapa kau tak menjaga anak-anakku?"
Vina mengangkat kepalanya, dia merasa lega, karena memang Kemuning asli yang kini duduk di singgasana. Tapi Vina masih berlutut, dia bingung bersikap.
"Mereka semua ditahan di Rumah Bidadari. Aku tak bisa melakukan apapun. Kuharap kau bisa..."
Kem mengangkat tangannya, lalu bangkit dan berdiri mendekati Vina.
"Tempatku di sini. Tempat kalian di sana. Kita berbeda!" kata Kem.
"Kem!" Vina segera bangkit, dan kini mereka berdiri berhadapan."Itu anak-anakmu. Kenapa kau lupakan?"
Kem tertawa sinis,"Seharusnya pertanyaan itu untukmu, bukan? Bagaimana rasanya menjalani hobi melupakan anak? Itu membuatmu bahagia, bukan? Kini aku merasakan hal yang sama. Rasanya aku mendapatkan apa yang kuinginkan. Kebebasan!"
"Bebas apa, Kem?"
"Bebas menentukan keinginan hati, tanpa harus digelayuti tanggung jawab, lelah dan rasa bersalah."
"Di tempat ini? Dalam dimensi berbeda dan jiwa yang sama sekali bukan dirimu?"
"Ya, tapi aku bahagia. Di tempat ini, aku bisa melakukan apapun semaunya. Tidak ada lagi yang berani menginjak-injak harga diriku. Suaraku didengarkan di sini. Aku dihormati! Mereka bahkan merayap dikakiku untuk memohon kehidupannya. Kau tahu? Aku sangat menyukai takdirku yang ini...."
KAMU SEDANG MEMBACA
Suku yang Hilang
Mystery / ThrillerKemuning berusaha fokus menulis cerita untuk novel barunya agar kembali bestseller hingga difilmkan. Dia kemudian tertarik mengungkap fakta sejarah, tentang Suku Selendang Putih Gunung Salak, Bogor. Konon, suku ini sering menunjukkan jejak di sepan...