#69: Fakta Lain Larasati

1.3K 260 25
                                    

Kuda Patih Jemoga tiba-tiba berhenti, meringkik keras dan mengangkat kaki depannya, membuat pria tua itu hampir kesulitan mengendalikannya.

Kusir turut menghentikan pedati, dan sibuk menenangkan 2 ekor kuda pedatinya agar tidak ikut gelisah. Mereka sudah berada di luar hutan, terlihat tanah hijau yang luas dengan pohon-pohon talas hitam dan merah muda. Ilalang juga seperti hampir setinggi tubuh orang dewasa.

Tak berapa lama kemudian, muncul dari ilalang-ilalang itu, 7 orang wanita yang sangat cantik. Mereka begitu muda, memesona, dengan rambut panjang berkilauan. Kemben ketat warna hijau yang mereka pakai, terikat kain kuning keemasan.

"Selamat bertemu lagi, para Bidadari. Duhai Nawang Sari, Nawang Lengka, Nawang Dura, Nawang Begat, Nawang Cenai, dan Nawang Jaru," sapa Patih Jemova, yang mulai bisa mengendalikan kudanya.

Ketujuh wanita itu tersenyum manis, lalu menoleh pada para penumpang pedati.

"Sepertinya, ada saudari kami di sini." kata seorang bidadari, yang melangkah mendekati pedati.

Patih Jemoga cepat turun dari kuda, dan ikut mendekati bidadari itu.

"Betul, Nawang Sari, Sang Ketua Bidadari. Saya menemukan Nawang Wulan di dalam hutan. Dia ingin bertemu Dewi Pohaci Larasati, anaknya. Oh, iya. Ini adalah anak Dewi Larasati, Puteri Cahaya dan Pangeran Salaka."

Nawang Sari mengangguk,"Sungguh sebuah reuni yang luar biasa. Oh iya, di mana Larasati sekarang?"

"Istana sedang perang saudara, Bidadari. Hancur semua. Dewi Larasati kembali ke istana, coba menyelamatkan keturunannya." jawab Jemoga.

Nawang Sari tertawa, sambil menyentuh pipi Ara. "Mencoba menyelamatkan keturunan, atau Kerajaan?"

"Mungkin keduanya," sahut Jemoga.

"Saat ini, Larasati telah mendapatkan kembali apa yang dia inginkan. Tahta kerajaan! Dia duduk di sebelah Anggada. Anggada jadi raganya, dan dia jadi jiwanya..."

"Dia berhasil mengatasi kekacauan istana?"

"Kekacauan yang dia buat sendiri."

"Nawang Sari, kau berbicara begini untuk tujuan apa?"

Nawang Sari mengelus kuda-kuda pedati, lalu menoleh pada Jemoga.

"Larasati keponakanku, yang selalu ke rumah bidadari, mencari para bibinya untuk berkeluh kesah dari masalahnya di istana. Kami lalu mendidiknya dengan beragam keahlian dan kecerdasan, membuatnya makin dewasa dan mengagumkan, sekaligus, ambisius. Dia ingin menjadi Raja, atau Ratu yang memimpin kerajaan, karena dia merasa lebih berhak, sebagai anak Aki Tirem. Dari pada Dewawarman!"

Jemoga menggeleng,"Apa yang kau katakan, Nawang Sari? Dewi Larasati bukan orang yang seperti itu!"

"Lalu, seperti apa dia yang kau tahu Jemoga? Berpura-pura baik agar banyak dipuja? Aku pikir, dia telak mewarisi pribadi buruk ibunya. Selalu membuat masalah dengan bersembunyi dibalik topeng kepolosannya. Senang berlari dari masalah, dan tega mengorbankan orang lain demi segala tujuannya. Persis! Buah jatuh tak jauh dari pohonnya," sahut Nawang Sari, sambil melirik Vina yang kebingungan, dengan sinis.

"Kau jangan memfitnahnya, Nawang Sari!" bentak Jemoga.

Tapi Nawang Sari langsung maju, dan menatap tajam pria itu.

"Larasati memiliki rasa ketakutan umumnya manusia biasa, Jemoga. Dia khawatir, Raja Dewawarman akan dikuasai Nyi Larang sepenuhnya. Sehingga dia tak akan mampu memenuhi janji Aki Tirem, untuk menyerahkan anak perawan dari keturunannya kepada kami para Bidadari, sebagai pengganti Nawang Wulan dan Nawang Mentari yang telah dinodainya. Jika ini tidak dilalukan, maka Salaka Nagara tak akan bertahan lama. Bahkan Aki Tirem tidak bisa moksa!"

Suku yang HilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang