Surti, merasa sangat lelah saat ke luar dari pintu rahasia itu. Berawal dari mengambil tas rotan isi gulungan tulisan Kem yang ketinggalan jatuh, dia malah berpikir untuk kembali ke istana.
Kusir pedati itu tadi mengatakan, semuanya selamat dan kini berkumpul di Rumah Bidadari. Rumah apaan itu juga tidak jelas baginya, mungkin semacam Rumah Produksi yang membuat film. Dan bayi pemeran pangeran juga telah diserahkan Surti.
"Jangan kelamaan syuting, kasihan, dedek bayinya bisa demam ini. Honornya gede mungkin, ya?" tanya Surti pada Erlangga, yang cuma nampak bengong kebingungan.
Surti tak ingin pula membahas itu. Entah mengapa, dia lebih merisaukan tentang kelanjutan kegiatan yang dikiranya syuting film itu. Surti merasa lelah jadi figuran, dan berharap diputus kontraknya agar tidak repot-repot pakai kemben terus.
"Sekarang, aku harus ngobrol baik-baik dengan Bu Kem. Aku sudah sabar banget main film ini, tapi tampaknya aku kurang berbakat. Capek ternyata main film itu. Capek berpura-pura senang, takut, marah dan lari-lari sambil gendong bayi di lorong yang gelap. Andai tak ada kamera yang tersembunyi, sudah pasti bayi itu aku serahkan ke sutradara. Berat bawa bayi sama tas, sampai jatuh segala..." kata Surti, saat telah kembali ke Kaputren Ibu Suri, yang kondisinya sudah porak-poranda.
Bingung juga Surti, melihat kondisi yang masih berantakkan itu. Meski dilihatnya, ada beberapa prajurit yang sibuk membersihkan sisa kebakaran dan noda cairan merah yang berceceran.
"Duh, sampe hancur beneran kayak begini. Asli banget tampilannya. Kemarin juga mereka bakar-bakar rumah beneran, sama nerjang pintu juga beneran. Kalian semua pemain profesional. Eh, ngomong-ngomong, kok sepi? Lagi pada stop syuting ya. Mantap!" puji Surti, pada para prajurit yang masih sibuk bekerja.
"Eh, Syura! Dari mana saja kau? Mana Pangeran Wangsakerta?" tanya prajurit.
Surti cemberut,"Syura, Surti! Saya dari bawah tuh, lorong bawah tanah di bawah meja. Bayi, eh, Pangeran itu sudah saya serahkan pada kusir pedati. Dia yang nunggu di atas lobang lorong."
"Siapa dia?"
"Ya, mana saya tahu. Nggak sempat kenalan. Lagian ini syuting nggak pakai skenario dan arahan. Kalau tadi disuruh tahu namanya, ya...saya kenalan dulu!"
Semua prajurit yang ada di situ langsung berlarian menuju pintu rahasia. Satu persatu mereka masuk ke sana, membuat Surti hanya mengangkat bahu dan melanjutkan langkahnya mencari Kemuning.
"Bibi Emban Syura, mana Pangeran Wangsakerta?" tanya para dayang, saat melihat Surti melintas menuju ke Ruang Pertemuan Raja.
"Aku Surti, hei.. hei... kalian ini lupa terus! Itu pangeran bayi ada bersama kusir."
"Kusir?!"
"Iya, skenarionya begitu. Itu, prajurit lagi menyusulnya."
Surti terus melangkah dengan santai, bahkan dia sempat melambai pada Siger dan Anggada yang tampak duduk merenung di taman.
"Hei, kalian berdua! Mojok, ya?" sapa Surti, tetapi keduanya seperti tidak mendengar, membuat Surti kesal. "Sombong buanget, awas yo, tak lapori karo mbokmu!"
Kondisi istana juga tampak begitu sepi, tidak penuh kemeriahan seperti dulu terlihat. Bahkan di depan pintu Ruang Balai Pertemuan Raja, sejumlah prajurit masih sibuk menyirami lantai dengan air penuh bunga mawar.
"Wah, jangan pakai air mawar. Mahal. Pakai karbol saja, biar lebih hemat. Kalian ini tidak pernah belanja pembersih lantai kiloan apa? Ayolah, jika ada yang mudah kenapa harus repot?" saran Surti, seraya ngotot masuk ke Balai Pertemuan Raja, meski sempat dihalangi prajurit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suku yang Hilang
Mystery / ThrillerKemuning berusaha fokus menulis cerita untuk novel barunya agar kembali bestseller hingga difilmkan. Dia kemudian tertarik mengungkap fakta sejarah, tentang Suku Selendang Putih Gunung Salak, Bogor. Konon, suku ini sering menunjukkan jejak di sepan...