Kem dan Ara, akhirnya dibawa Anggada menemui Vina dan Nina, di Depok. Pertemuan yang kering. Sebab tak ada pelukan, juga tak ada basa-basi. Kem dan Vina tidak ada urusan. Tetapi karena Arsa, mereka terkait satu sama lain.
Sungguh, Kem tidak menyukai wanita ini. Vina yang membuat situasi tambah kacau, karena nekat datang dari Hong Kong demi mencari Papi Mertua. Dia yang tega meninggalkan anak dan suami karena lelah hidup susah. Dan dia juga yang seenaknya menghilang di rest area saat mereka akan menuju Bogor. Jadi bagaimana mungkin, dia bisa tersenyum pada wanita itu?
Anggada sigap membawa Nina dan Ara berjalan-jalan mencari jajanan di warung, meninggalkan dua wanita yang tampak seperti ingin saling mencakar itu.
Vina menitipkan jejak pada Umi Dudung untuk Kem, bukan karena ingin reuni dengan wanita itu. Dia semata ingin menyalahkannya karena telah menyebabkan Kesuma dan Naga mati sia-sia.
"Mas Kesuma mati. Naga juga. Apa kau bahagia? Hidup kami tambah kacau karenamu. Kami dikejar seperti anjing liar, dibayangi pistol, diancam. Sementara kau seenaknya pergi menghilang!" kata Vina dengan marah.
Kem mencibir,"Hidupmu adalah tanggung jawabmu. Kau yang nekat mengejar Papi. Kau juga yang dengan bodohnya menghilang di rest area. Kini kau mendadak merasa sedih ketika Naga mati. Pura-pura? Bukankah kau yang meninggalkannya?"
Vina bergeming. Dia lalu mundur, duduk di kursi tamu, menyalakan rokok. Sementara Kem, memandangi koleksi rumah Anggada di Depok itu, dengan penuh kekaguman. Rumah nuansa hijau itu sangat sejuk. Kem tahu, pasti Else yang dulu sempat mendesain rumah itu. Else suka warna hijau. Mereka punya banyak rumah yang disewakan, ciri rumah yang didesain Else, pasti kehijauan.
Else begitu lembut, baik dan penyayang. Dia kawan yang setia. Kem tak habis pikir, bagaimana bisa Helen tega melukai hatinya? Mungkinkah karena Helen tak sempat mengenal sahabatnya itu?
"Kenapa kau biarkan Helen menggoda Anggada?"
Vina menghembuskan rokoknya, lalu menoleh kesal.
"Itu urusan mereka. Aku tak berhak ikut campur"
"Kau membela, karena kau sama seperti Helen"
"Ah, andai kau tahu betapa besar perjuangan Helen untuk menolongmu. Bercinta dengan Anggada, jelas bukan termasuk dari point itu. Kini dia telah mati. Dan ternyata yang coba ditolongnya malah tak tahu berterima kasih"
Kem terdiam. Kalimat Vina menghantamnya dengan sesak. Tiba-tiba dia merasa sangat egois terhadap Helen, meski dia juga merasa sangat bersalah pada Else.
Dia lalu duduk juga di kursi, berhadapan dengan Vina. Mereka saling memandang.
"Sekarang katakan, apa tujuanmu untuk memintaku mencarimu"
Vina tersenyum kecut, lalu meletakkan rokoknya di asbak.
"Aku akan kembali ke Hong Kong, dan butuh dana. Juga aku ingin menitipkan Nina?"
"Apa?"
Kem hampir bangkit menampar wanita itu. Bagaimana bisa dia minta uang seenaknya, terus minta pula Kem menjaga anaknya?
"Anggaplah itu impas, dari kehidupan yang sempat kacau balau setahun belakangan"
"Kau ibu yang kejam!"
"Terserah anggapanmu"
"Aku tidak mau! Kau ini aneh, egois! Kau timpakan beban pada orang yang tak kau kenal"
Seketika Vina bangkit, lalu menarik kerah kemeja Kem dengan ganas sehingga wanita itu mendadak ikut berdiri.
"Siapa yang lebih egois sekarang? Kau, atau aku? Apa kami beruntung mengenalmu? Tidaaak!!! Kau menyebabkan Naga mati. Karena dia berurusan denganmu. Dan aku juga tak sengaja bertemu denganmu, dan tololnya ikut percaya idenya Helen bahwa kau adalah orang yang layak untuk ditolong. Mereka mati semua sekarang. Dan jiwaku juga terancam. Lalu kau anggap menitipkan Nina adalah beban? Bisakah kau berpikir sedikit tentang rasa bersalah, atau berterima kasih?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Suku yang Hilang
Mystery / ThrillerKemuning berusaha fokus menulis cerita untuk novel barunya agar kembali bestseller hingga difilmkan. Dia kemudian tertarik mengungkap fakta sejarah, tentang Suku Selendang Putih Gunung Salak, Bogor. Konon, suku ini sering menunjukkan jejak di sepan...