Kem hanya bisa duduk di sofa dalam balutan tebal selimut. Sementara ditangannya, memegang erat cangkir teh panas. Lidahnya kelu.
Tujuh Nenek berada di rumah, mereka ada yang sibuk memasak, membereskan rumah, dan juga sibuk menyuapi Ara yang tampak dalam pelukan salah satu Nenek, bocah itu juga telah berganti pakaian. Mereka telah melumuri tubuh Ara dengan minyak, agar tetap hangat. Kini, tubuh anak itu tak lagi biru, setelah semangkuk bubur dan teh hangat masuk ke perutnya.
"Jangan pernah meninggalkan rumah saat kabut ataupun hujan. Terutama jika membawa anak. Bahkan janin dalam perutpun bisa hilang, seperti Ayun!"
Kem menatap salah satu Nenek, yang baru saja memberikan cangkir teh kedua untuknya.
"Ayun? Bukankah dia keguguran karena ingin menjual rumah ini?"
Nenek tersebut tersenyum,"Ayun tak bercerita jika dia bertemu Nyi Larang dua kali, sebelum anak dalam kandungannya mati?"
"Nyi Larang? Wanita gila tadi?"
"Ya"
"Dituduh merebut suaminya juga?"
"Tidak. Ayun hanya terlalu terkejut melihat wanita itu. Ayun mengira dia arwah tanah leluhur yang melarangnya menjual tanah dan rumahnya"
"Oh, Ayun tak bercerita soal itu"
"Mungkin dia butuh uang untuk menyewakan rumahnya. Tak ada orang mau merugi dengan cerita-cerita yang tak logis seperti itu
"Mungkin. Tapi andai dia cerita..."
"Dia tak berceritapun, kau tetap akan kemari. Takdirmu ke sini..."
Kem memandang wanita tua itu.
"Nenek ini siapa?"
"Aku, Nawang Sari. Dan itu..." Nenek Nawang Sari menunjuk keenam Nenek lainnya yang kini berbaris duduk di dekatnya "Nawang Lengka, Nawang Dura, Nawang Begat, Nawang Cenai, Nawang Meruna dan Nawang Jaru"
"Kalian hanya bertujuh?"
"Dulunya bersembilan. Ada Nawang Mentari dan... dan Nawang Wulan bersama kami. Tapi keduanya, menghilang!"
"Mengapa?"
Nawang Sari melirik para nenek lainnya, lalu menghela nafas.
"Apa kalau kami bercerita kepadamu, maka kau tidak akan takut?"
Kem mengangkat bahu. Dia sudah cukup gila menghadapi kenyataan di depannya. Segala hal tak masuk akal terjadi, sampai dia hanya bisa pasrah.
Nawang Sari mengambil cangkir teh kosong di tangan Kem. Lalu Nawang Jaru menyerahkan Ara, dalam pelukan Kem. Kini, ketujuh Nenek duduk berhadapan di depannya. Seakan bersiap menceritakan banyak hal.
"Berceritalah, saya sungguh ingin mendengar dan meluruskan peristiwa membingungkan ini. Saya datang ke sini cuma untuk membuat riset tulisan novel saya tentang Suku Karembong Bodas..."
"Jangan dicari" potong Nawang Sari.
"Kenapa?"
Nawang Sari menggeleng,"Mereka bukan sesuatu yang nyata"
"Fana?"
"Tak kasat mata. Hanya pada waktu tertentu terlihat. Seperti saat kau melihat rumah hijau di belakang rumah Ayun ini"
"Jadi..."
"Itu mengapa kami datang malam itu. Agar kau tidak penasaran dengan hal-hal ghoib. Cukup diam, lupakan. Kita hidup di dunia masing-masing"
Kem mengangguk,"Baiklah. Tapi tolong ceritakan tentang kalian"
Nawang Sari terdiam sesaat, lalu tersenyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suku yang Hilang
Mystery / ThrillerKemuning berusaha fokus menulis cerita untuk novel barunya agar kembali bestseller hingga difilmkan. Dia kemudian tertarik mengungkap fakta sejarah, tentang Suku Selendang Putih Gunung Salak, Bogor. Konon, suku ini sering menunjukkan jejak di sepan...