Jihan tersenyum puas. Meski tangannya lumpuh, tapi kini, dia menguasai permainan.
Arsa, serasa tak bertenaga saat diserangnya melalui demo para karyawan butiknya, juga kejaran media. Sementara Jihan bisa dievakuasi dari RS Cahaya Mentari, sebagai korban.
Tapi Arsa, tak bisa melawan. Sebab antara dirinya dan Jihan, ada sebuah rahasia besar. Dan jika itu terbongkar, maka tamatlah riwayatnya. Jihan dapat dengan mudah mengelak, sebab tangannya tidak terlibat. Dia hanya memberikan ide mengerikan.
Jihan juga tidak bisa mengelak, ketika RS Cahaya Mentari, mampu memberikan alibi di media.
"Tidak ada penyekapan pasien. Itu tidak benar. Nona Jihan Mentari, belum boleh meninggalkan rumah sakit, karena kondisinya. Baik karena cacat fisik yang diderita, juga ada tekanan mental pasca musibah kecelakaan, yang membuat bekas pasien kami tersebut, mengalami depresi" kata Dokter Deco, Direktur Utama RS Cahaya Mentari. Direktur baru yang direkrut Arsa, usai Direktur lama ditendangnya.
"Tapi, mengapa Nona Jihan sampai perlu meminta pertolongan orang banyak untuk mengeluarkannya dari RS Cahaya Mentari?" tanya wartawan.
Dokter Deco tersenyum, lalu menatap barisan wartawan di depannya.
"Sudah saya jelaskan tadi, soal depresi yang dialami beliau, salah pengertian bisa saja terjadi. Kita juga maklum, dengan kondisi trauma pasca kecelakaan yang merenggut fungsi kedua tangannya tersebut, secara mental pastinya dapat terganggu. Kita hanya pihak rumah sakit yang sedang menjalankan tugas saja. Baik untuk kesehatan fisik, maupun kondisi jiwa pasien. Tidak ada untungnya bagi kami untuk menyekap pasien"
"Apakah dengan cara menahan pasien untuk bertemu orang lain, adalah suatu pembenaran?"
"Kami rasa begitu. Jika kondisi kejiwaan pasien belum stabil. Kami hanya berusaha untuk memenuhi permintaan beliau pada fase awal, untuk menutup akses bertemu dengan orang luar. Sebab pasien, ingin privasinya terjaga. Tetapi kami maklum, jika pernyataan tersebut dapat bersikap labil, atau berubah-ubah, sesuai kondisi si pasien itu sendiri..."
Jihan menghela nafas, lalu meminta Gilda, salah satu karyawan butiknya untuk mematikan siaran televisi. Dia tak bisa menyangkal pernyataan Dokter yang diancam Arsa itu. Sejauh ini, bisa lepas dari Arsa, adalah sebuah keberhasilan luar biasa. Itu sudah cukup. Dia tak ingin menambah masalah.
Lagi pula, sekacau apapun masalah dirinya dan Arsa, mereka tak dapat dipisahkan begitu saja. Ada urusan di antara mereka. Tentang, Kemuning, pastinya.
Dia sudah bisa membayar Tika, untuk bisa mengeluarkannya dari tempat itu. Perawat cerdas, yang pintar mengatur siasat jitu. Jihan menyukai gadis itu, sebab itu dia menawarkan Tika untuk tetap jadi mata-mata di RS Cahaya Mentari.
"Tetap di sana, pasang telinga lebar-lebar. Laporkan segala hal yang kau temui. Catat baik-baik segala keburukan rumah sakit itu. Kita butuh senjata untuk melawan seorang Arsa, jika dia kembali kurang ajar"
"Baik, Nona Jihan"
Jihan mengangguk. Dia juga membayar pesangon semua karyawannya, sebelum memberhentikan mereka. Butiknya, terpaksa tutup usai dihancurkan orang-orang suruhan Kesuma. Dia bisa menggunakan alasan tersebut untuk menyatakan kebangkrutan.
Padahal, dia masih cukup kaya. Tapi dia butuh banyak uang untuk mengobati tangannya, juga untuk melenyapkan Kemuning. Dia hanya butuh Tika sejauh ini. Juga Gilda, yang mampu diajak bekerja sama.
Mereka tinggal di apartemen. Tidak takut juga diserang Arsa, karena jika terjadi sesuatu pada dirinya, tuduhan pasti mengarah pada Arsa, selaku owner Cahaya Mentari. Arsa tidak ingin menambah masalah. Dia juga masih berkomunikasi dengan Jihan sesekali, meski pembicaraan mereka kini tidak mesra lagi.
"Kau membuat hubungan kita hancur" keluh Arsa.
"Bukankah kau yang telah menghancurkannya? Kau pikir aku bahagia kau penjara?"
"Ah, kau tidak mengerti"
"Sudahlah, jauhi aku"
"Kau tidak ingin kita kembali?"
"Untuk apa?"
"Urusan kita belum selesai"
"Uruslah apa yang menjadi urusanmu sendiri. Aku cuma ingin bahagia"
Jihan meminta Gilda, menjauhkan ponsel dari telinganya. Gilda, cepat mematikan ponsel, lalu mendekati Jihan. Hampir 7 tahun dia bekerja untuk Jihan. Mereka sama-sama belum menikah. Kesetiaan Gilda, membuat Jihan mempertahankannya. Sementara Gilda, akan bekerja sesuai perintah Jihan, sejauh bosnya itu terus menggelontorkan uang untuknya.
"Kita harus segera terbang ke Inggris, untuk melakukan transplantasi kedua tanganku ini, Gilda"
"Baik, Mbak Jihan"
Jihan, telah memikirkan untuk terbang ke negara itu. Demi melakukan transplantasi tangan. Dia hanya butuh membayar mahal untuk membayar operasi bedah sekiar 8 jam, yang mampu menghubungkan tulang, tendon, saraf, arteri berikut vena, sebelum kulit pada transplantasi tangannya mendapat penanganan mulus. Meski pastinya, tak akan semulus tangan aslinya dulu.
Jihan tak mempermasalahkan bentuk kecacatan itu. Dia hanya butuh, mampu beraktivitas menggunakan kedua tangannya seperti dulu. Dia butuh, kembali "menaklukan" Arsa. Juga tetap ingin, menghancurkan Kemuning secepatnya.
***
Helen, berdiri di depan butik yang remuk itu. Bosta Rocca, kini tak semewah dulu. Dia melirik Vina, yang tampak bergidik melihat tempat itu.
"Tuan Kesuma yang menghancurkan ini, Nyonya. Beliau cuma ingin memberi peringatan bagi Jihan, selingkuhan Arsa" bisik Helen.
Vina mengangguk,"Ya, Mas Kesuma pernah bercerita ingin menyingkirkan wanita itu. Dia menyayangi anak dan menantunya"
"Ya, Tuan memang orang baik"
"Lalu, apa yang bisa kita lakukan sekarang?"
"Entahlah. Ternyata Jihan bisa menghilang seperti setan. Padahal tangannya sudah lumpuh. Tapi jejaknya sudah lenyap"
"Kita tak bisa... menggunakannya?"
Helen menggeleng,"Sejauh ini, belum"
"Lalu?"
"Mungkin, kita harus mencoba mencari bekas pengacara Bu Kemuning. Saya yakin, beliau bisa banyak membantu"
Vina, tak punya pilihan. Dia sendiri bingung dengan tujuan. Awalnya, dia ingin mencari Kesuma. Ternyata, kekasihnya mati. Dia juga terlanjur meninggalkan Naga dan Nina. Ada rasa malu untuk memaksa ingin kembali.
Jujur, dia tak pernah mencintai Naga. Pria itu, hanya kebetulan singgah dalam hidupnya. Tetapi terlanjur lahir Nina. Awalnya, dia tak ingin mengulangi kasus lamanya: meninggalkan anak. Tetapi nyatanya dia juga meninggalkan Nila Wulan.
Rasa menyesal mulai menyerangnya. Dia baru sadar, tentang pentingnya mengurus anak dan keluarga. Karena hidup sendiri tanpa arah, membuatnya merasa tak berguna.
Vina, kadang masih berusaha mencari anak pertamanya: Nawang Wulan. Dia mengutuk keluarganya, yang seenaknya mengganti nama anak itu, sehingga sulit mencari jejaknya.
"Entah diganti apa, lupa. Apa Kemala, apa Kemayu. Lupa! Almarhum Kakakmu yang mengganti itu" kata bekas sepupunya.
Vina hanya bisa pasrah. Dia berjanji untuk mengurus Nina dengan baik, ketika anak itu lahir. Tapi hubungannya dengan ibu mertuanya, Uminya Naga, sangat buruk. Naga juga terlalu membela ibunya. Jika tidak diselamatkan Nenek 7 Bidadari, mungkin Naga sudah membunuhnya.
Tapi diselamatkan nenek-nenek itu, juga membuatnya trauma. Sehingga ngeri untuk kembali ke Kampung Sakala. Meninggalkan mantan suami dan anaknya di rest area saat itu, menjadi keputusan bulatnya. Bukan semata karena ingin menghadiri pemakaman Kesuma, tapi dia juga memang takut kembali bertemu dengan para nenek itu.
"Mereka, adalah Nenek-Nenek keparat yang bukan manusia..." gumam Vina.
Helen menoleh,"Hah, siapa Nyonya?"
"Oh, eh... tidak!"
Vina hanya bisa tersenyum gugup, meski jantungnya berdetak kuat.
(Bersambung)
KAMU SEDANG MEMBACA
Suku yang Hilang
Mystery / ThrillerKemuning berusaha fokus menulis cerita untuk novel barunya agar kembali bestseller hingga difilmkan. Dia kemudian tertarik mengungkap fakta sejarah, tentang Suku Selendang Putih Gunung Salak, Bogor. Konon, suku ini sering menunjukkan jejak di sepan...