#36: Umima

1.6K 289 15
                                    

Lorong-lorong istana itu, begitu panjang. Penuh obor, dan prajurit penjaga. Harum dupa menyeruak pada tiap sudut. Situasi begitu dingin dan tenang.

"Sebelah kiri, Permaisuri" ucap seorang pelayan wanita, yang profesi mereka di sini disebut sebagai dayang-dayang.

Kem mengikuti langkah dayang itu, diiringi dua dayang lain, untuk berbelok ke kiri, sambil sesekali memegangi mahkotanya yang sangat berat itu.

Tapi Kem yang berkeinginan untuk berkeliling lingkup kerajaan. Dia tinggalkan Surti dan Ara yang tidur siang. Lalu dia memutuskan untuk sekedar mengetahui kondisi istana perak tersebut.

"Apa yang kau lakukan, Permaisuri?"

Tiba-tiba, langkah Kem dan dayang terhenti. Seorang wanita tua, berdiri di pertigaan lorong, di dampingi dua orang dayang.

"Umi Dudung?" gumam Kem, terkejut.

Para dayang mendadak memberi hormat pada wanita itu.

"Siapa dia?" bisik Kem pada dayang.

"Oh, Yang Mulia. Apakah anda melupakan Umima? Beliau adalah adik dari Ayahanda Permaisuri"

Kem mendadak sedih. Jika dia telah bertemu Umi Dudung dalam versi berbeda di Salaka Nagara, maka artinya, wanita yang sedang stroke itu mendadak kini telah mati? Lalu bagaimana dengan nasib Dudung?

"Mari ke tempatku, kita bicara" kata Umima, sambil melangkah menuju lorong keputrennya.

Kem patuh, dia mengikuti wanita itu tanpa meragukannya. Dayang-dayangnya kemudian juga mengikutinya.

Keputren Umima juga besar, mereka lalu duduk bersimpuh di lantai pualam beralas karpet tebal, saling berhadapan di depan meja yang terbuat dari logam perak. Dayang-dayang Nyi Umima lalu menyajikan teh, buah dan penganan ringan.

"Aku memahami atas sikapmu yang berulangkali ingin kabur itu, Permaisuri. Kau pasti kecewa dengan Dewawarman. Tapi apa yang sebenarnya perlu dibahas lagi? Nyi Larang mungkin bukan orang yang menyenangkan, tapi dia bukan tipikal manusia yang lupa dengan posisinya. Apa yang kau takutkan? Sikapmu ini yang justru aneh. Kau sepertinya tidak ingin anakmu menjadi raja?"

Kem tertunduk, menatap aneka buah di depannya. Sampai sekarang, dia masih gelisah tentang naluri sikapnya yang sering kabur itu. Apakah itu menurun dari gen ibunya, Nawang Wulan?

"Seperti apa Ibuku, Nawang Wulan itu, Umi?"

Umima terbatuk, lalu cepat meminum tehnya. Dia terdiam sesaat, lalu menatap Kem.

"Ibumu mungkin cantik, tapi dia pribadi yang egois. Dia tak memikirkan apapun, kecuali kebahagiaannya sendiri, meski itu harus mengorbankan orang lain"

"Termasuk anaknya? Jahat!"

Umima kembali mengangguk, sambil menepuk-nepuk lengan Kem.

"Selama ribuan tahun, kita manusia ini terbiasa melihat kaum bersayap. Kita menyebutnya Bidadari. Tidak saling berusaha mengenal. Hidup kita masing-masing. Tetapi tidak sedikit, beberapa manusia menikahi mereka. Pernikahan yang tak lama. Termasuk Ayahmu, Aki Tirem"

"Mengapa mereka disebut kaum bersayap?"

"Karena mereka bisa terbang. Bukan penduduk bumi, tapi senang main ke bumi. Sebagian manusia ada memang yang dekat dengan mereka. Biasanya kemudian mereka jadi orang hebat yang dikagumi"

"Seperti Ayah?"

Umima mengangguk,"Tirem, kakakku, dulu bernama Jaka Tarub. Pemuda tampan yang berani mencuri selendang bidadari. Selendangnya Ibumu, Nawang Wulan. Mereka bertemu, lalu jatuh cinta. Membuat bidadari itu tak lagi bisa terbang, karena tubuhnya ternoda. Akibatnya, delapan bidadari lainnya juga tak bisa kembali ke planetnya"

Suku yang HilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang