"Mengapa kembali? Mengapa kembali?"
Teriak Pak Nagara, saat melihat Kem kembali bersama Ara dan Nina. Bahkan kini, membawa seorang wanita pengasuh pula.
Tapi Kem tak peduli. Dia hanya menyerahkan Nina pada Pak Nagara, lanjut pergi menggendong Ara dan meminta Surti mengikutinya menuju arah gubuk Nenek Tujuh Bidadari.
"Mereka sudah tak ada di sana!"
Kem menoleh, dia melihat Dudung berlari mendekat.
"Dudung?"
"Punten Teteh, Nenek Bidadari sudah menghilang sejak Teteh pergi dari sini"
"Benarkah, Dung?"
"Betul, Teteh. Gubuk mereka juga anehnya menghilang"
"Hah?"
Kem memandangi lokasi gubuk Nenek Bidadari. Tapi benar. Di sana kini hanya terlihat kebun jagung dan singkong. Hujan gerimis mulai turun, suasana mulai makin menyedihkan.
"Teh, di ujung jalan desa, penuh mobil jeep. Itu, mobil orang-orang yang sering patroli mencari Teteh selama setahun ini"
"Ya, Allah! Terus kami harus ke mana, Dung?"
"Teteh buruan geura sembunyian. Dudung nanti coba ulur waktu agar mereka tidak buru-buru ke sini!"
Dudung cepat berlari menuju Desa di bawah Kampung Salaka. Dia tak peduli mesti Pak Nagara yang menggendong Nina sibuk memperingatkannya.
"Ayo, ikut!"
Kem tersentak. Tiba-tiba terlihat Dewawarman dengan baju raja kebesarannya datang dengan kudanya, memerintahkan Kem untuk naik ke atas kudanya. Tak lama kemudian, seekor kuda lagi datang bersama seseorang berpakaian prajurit perang, memerintahkan Surti untuk naik ke kudanya.
"Bu Kem, mereka ini mau pentas wayang di mana? Kok pake baju beginian?"
Tak ada pilihan. Mereka hanya bisa patuh. Kem cuma pasrah. Sementara Surti merasa makin kebingungan.
Entah berapa lama mereka berkuda, melintasi jalan terjal berliku, menyusuri hutan lebat penuh pohon besar. Mereka seperti mendaki dan terus mendaki tapak-tapak perbukitan yang sunyi, namun penuh bunga.
Hujan tak lagi turun rintik, tetapi kabut seakan menyembul datang. Mereka mulai tak bisa melihat keindahan lagi. Bahkan jarak pandang hanya tak sampai satu meter. Kem tak melihat Surti ikut duduk di atas kuda prajurit, tapi suara kuda itu masih terdengar. Juga suara Surti yang mulai cemas memanggilnya.
"Diamlah, Surti. Kita akan baik-baik saja!" teriak Kem.
"Bibi Emban itu selalu begitu. Tukang khawatir. Tapi dia sangat setia mengikutimu kemanapun, sayangku Dewi Pohaci Larasati" kata Dewawarman, sambil terus memaju kudanya.
"Bibi Emban?"
"Ya, wanita yang ikut kuda prajurit kita itu. Siapa lagi?"
"Surti?"
"Syura. Sejak kapan dia kau panggil Surti? Syura mengasuhmu dari bayi, masa kau lupa nama wanita itu? Aki Tirem sangat mempercayainya. Bahkan melebihi kepercayaannya kepadaku"
"Maksudmu?"
"Aku hanya pengelana yang melarikan diri dari Pallawa, India Selatan yang mengadu nasib ke Pulau Jawa. Setelah melakukan perjalanan jauh dari Ujung Mendini, Bumi Sopala, Yawana, Syangka, China, hingga Abasid di Mesopotamia"
"Jauhnya... kau naik pesawat?"
"Pesawat? Apakah itu jenis kapal penjelajah samudera terbaru?"
"Hah?"
"Aku menyesal lebih dulu ke pesisir tengah, dari pada ke pesisir barat. Aku jadi lebih dulu menikahi Nyi Larang, baru menikahimu. Aku juga menyesal tak jujur saat itu. Ayahmu, Aki Tirem. Penghulu Mulya saat itu, awalnya marah. Tapi dia juga akhirnya pasrah"
"Mengapa?"
"Karena dia juga poligami. Bahkan dengan dua bidadari! Dulu dia dikenal sebagai Jaka Tarub Si Penakluk Bidadari. Dia bisa menikahi Nawang Wulan dan Nawang Mentari. Sekaligus! Bayangkan..."
"Kau pernah bertemu bidadari itu?"
"Ibumu?"
"Tidak, aku hanya bertemu anaknya. Kamu, yang sangat jelita"
"Istri Jaka Tarub lain?"
"Nawang Mentari? Yang konon katanya cantik dan bahenol itu?"
"Eh, aku serius. Apa ada bidadari yang pernah kau temui?"
"Ada. Tujuh bidadari. Nawang Sari dan kawan-kawannya"
"Hubungan kalian?"
"Ah, mereka sudah tua. Aku tidak naksir!"
"Bukan itu! Maksudku, apa kau mengenal mereka dekat?"
"Tidak!"
"Kenapa?"
"Dunia kita berbeda. Lagi pula, mereka tidak menyukai Aki Tirem. Karena si Jaka Tarub itu, membuat 2 saudara mereka ternoda. Mereka bersembilan, jika 2 ada yang tak lagi perawan, maka mereka susah terbang"
"Ya, aku dengar hal itu dari Nawang Sari"
"Ya, kau pasti bertemu dia. Karena mereka itu saudara-saudara ibumu"
"Ibuku ke mana?"
"Kabur, karena kecewa Ayahmu kawin lagi"
"Ibu tiriku?"
"Dia wanita sundal yang memang harus hilang"
"Sundal?"
"Dia menggoda suami saudaranya! Bidadari liar itu. Bagus dia lenyap"
"Ayahku, apa coba mencari keduanya?"
"Sepertinya tidak"
"Tidak?"
"Beliau kan kapok ngurusin bidadari"
"Oh!"
Mereka tiba-tiba berhenti. Kabut juga tiba-tiba lenyap. Lalu sebuah pemandangan lapangan luas dengan gedung kerajaan warna keperakan terlihat di depan mata mereka.
"Salakanagara..." gumam Kem, terlintas begitu saja dalam dugaannya.
"Bu Keem... Mas Araaa...."
Surti sibuk menggendong Ara yang tampak tertidur, karena merasa nyaman dibawa berkuda.
Dewawarman tertawa,"Syura, kau akan berumur panjang. Kau akan menjaga keturunanku kelak. Bibi Emban terbaik di kerajaan. Lihatlah, kau menyayangi Salaka kami"
Surti melongo.
"Apa dia akan menjaga Ara, eh, Salaka sampai akhir?"
Dewawarman menggeleng,"Aku bermimpi Syura si Bibi Emban akan mengasuh anak perempuanku"
"Anak perempuan?"
"Ya, mungkin kita akan punya anak perempuan. Setelah kau dan Nyi Larang, sama-sama memiliki anak lelaki"
"Bagaimana jika itu bukan anakku, tapi anak Nyi Larang?"
"Ah, tak mungkin dia hamil lagi"
"Tak mungkin?"
"Sudahlah, sayangku. Kau tiap marah selalu menghilang bersama Salaka dan Bibi Emban. Kalian mau kabur ke mana sih? Tidak capek apa lari-lari terus? Rumahmu di sini, di istana ini. Ini milikmu, dan Salaka yang kelak menjadi Rajanya. Bukan Nagara, anakku dari Nyi Larang. Aku sudah bersumpah pada Aki Tirem!"
"Lalu, kalau kelak kau punya anak perempuan, akan kau beri nama apa dia?"
"Siger"
"Siger?"
"Ya, dia akan bernama Siger. Mahkota Dewi Helene dari Troya Yunani, yang sejarahnya kupelajari justru saat aku melintas di Mesopotamia"
"Siger? Helene?"
Mendadak Kem teringat mendiang Helen Siger.
(Bersambung)
KAMU SEDANG MEMBACA
Suku yang Hilang
Mystery / ThrillerKemuning berusaha fokus menulis cerita untuk novel barunya agar kembali bestseller hingga difilmkan. Dia kemudian tertarik mengungkap fakta sejarah, tentang Suku Selendang Putih Gunung Salak, Bogor. Konon, suku ini sering menunjukkan jejak di sepan...