#50: Darah

1.4K 253 34
                                    

Cahaya, tiba-tiba alergi. Kulit anak perempuan yang tiba-tiba kini sudah berusia sepuluh tahun itu mendadak merah, bengkak dan gatal.

Kem terbengong-bengong, bersama Surti. Alangkah cepatnya anak itu tiba-tiba besar?

"Perannya sudah diganti mungkin semalam, Bu. Episode sudah besar ini, para Puterinya. Cuma kita aja yang posisinya nggak diganti sama sutradara," bisik Surti, sambil menggendong Ara yang tak berubah. Tetap kecil!

Ternyata terjadi perubahan juga pada Siger. Gadis itu begitu menawan di usia sepuluh tahun. Dia duduk di sebelah Cahaya, sambil terisak. Rambutnya panjang sepinggang, hitam bergelombang dan berkilauan. Dia mirip dengan Cahaya, cuma dengan versi keren dan glowing.

Kem menyentuh pipi Cahaya. Wajahnya tetap mirip seperti saat dia bayi. Cuma wujudnya lebih besar. Kem memeluknya sambil menangis. Dia bersyukur bisa melihat Cahaya tumbuh besar, namun alergi yang dirasakan anak itu mungkin sangat menyiksanya. Dia mulai menangis dan menggaruk.

"Ibunda, sakit dan gatal semua!" kata Cahaya, membuat Kem makin kencang menangis.

Umima tampak pucat pasi saat menunjukkan mangkok sisa nasi berkuah bening, dengan sayur dan telur, pada Kem. Sementara dayang yang menyuapinya, hanya bisa bersujud sambil menangis histeris.

"Tidak sempat dicek si dayang lagi. Masakan dari koki istana, ternyata membahayakan Dewi Cahaya. Koki Puta pasti telah menambahkan kaldu udang pada makanan Sang Puteri" jelas Umima.

Tubuh Kem bergetar, menahan marah. Anaknya tersayang, yang sakit-sakitan dan gampang alergi itu malah diberi udang. Dia menyalahkan kepala koki istana yang lalai mengirimkan makanan untuk Puteri Siger, malah ke Puteri Cahaya. Dan si Dayang, juga tidak memastikan makanan tersebut.

"Bawa koki dan dayang itu ke Lapangan Merah!" teriak Kem.

Lapangan Merah, adalah bagian belakang istana yang berdekatan dengan penjara. Itu adalah tempat menghukum mereka yang lalai akan tugas, sehingga membahayakan nyawa keluarga Raja dan pejabat istana.

Kem sedang sangat marah. Dia trauma kehilangan Cahaya untuk kedua kalinya. Sudah bersyukur bisa bertemu dengan anak itu lagi, mana mungkin dia membiarkan orang yang hampir mencelakai anaknya?

Puta, si koki dan dayang yang menyuapi Dewi Cahaya, diseret ke Lapangan Merah dengan tangan terikat. Lalu duduk, dengan posisi berlutut.

"Kau, ke luar dari istana ini!" teriak Kem, pada dayang yang terus menangis itu.

Dayang itu lalu diseret menjauh, untuk dikeluarkan dari istana dengan tidak hormat. Lalu Kem, menatap Puta si koki itu. Pria beristri yang meniduri Dewi Rosa hingga bunting.

Hmm... Kem mencibir. Ternyata dia bertemu si Engkus, suami Ayun di tempat ini. Engkus dan Ayun yang pernah menjebaknya untuk tinggal di rumah mereka, agar bisa dibunuh Jihan pelan-pelan. Tetapi keduanya yang justru mati. Mendadak, darah Kem seakan makin mendidih.

"Puta Engkusona, seharusnya kau sudah mati saat menghamili Dewi Rosa! Sekarang, kau juga ingin membunuh anakku?"

"Ampun, Permaisuri. Ampuni saya!" jerit Puta, ketakutan.

Tak lama kemudian, menyusul seorang wanita yang berlarian, sambil menjerit dan menangis. Lalu jatuh tersungkur di kaki Kem.

"Ampuni kami, Permaisuri!" jeritnya.

Kem mendengus kesal, saat melihat wanita itu. Benar, dia si AYUN! Kaki tangan Jihan di kehidupan modern. Wanita licik yang bersembunyi dengan topeng keluguan warga kampung. Tetapi mengapa dia dan suaminya bisa sejahat itu?

Punggawa kerajaan tiba-tiba cepat datang menyusul ke Lapangan Merah. Tak lama kemudian, terlihat Raja didampingi Patih Jemoga. Kem meminta Punggawa Sorta menjelaskan temuan barunya.

Suku yang HilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang