Kem, tetap tak bisa memahami hal yang terjadi. Rasa kalutnya membuat dia berlari menuju bawah bukit, menuju warung Umi. Tetapi warung itu kini sudah tutup.
"Umi lumpuh" kata Dudung, sambil membuka pintu rumah mereka, memperlihatkan ibunya yang tergeletak di atas tikar dan kasur tipis di lantai kayu.
"Sejak kapan?" tanya Kem, sambil menyerahkan Ara yang sudah terbangun pada Dudung, lalu bergegas mendekati Umi yang cuma bisa menangis. Kedua kakinya tidak bergerak.
"Setahun lalu" sahut Umi, lirih.
"Kenapa bisa begini?"
"Orang-orang kota itu datang mencari Mbak Kem. Mereka menyiksa Pak Nagara dan anak-anaknya, juga membunuh Naga. Umi lari ke bawah menyusul Dudung yang melarikan Nina. Umi terjatuh berguling, malah jadi lumpuh begini..."
"Ya Allah"
"Orang-orang itu jahat. Banyak dan bawa pistol. Rame banget waktu itu. Sampai sekarang juga sering datang. Biasanya malam nanti ada yang patroli mencari" tambah Dudung.
"Patroli?"
"Mereka setahun ini berusaha menemukan kalian. Selalu saja terlihat ke atas, mengobrak-abrik Kampung Salaka, bawa-bawa senjata"
"Tidak lapor polisi?"
"Justru kami melihat polisi terlibat di sana. Sebab katanya Mbak Kem ini buronan. Pembunuh. Harus dikejar dan dicari" jelas Umi.
Kem menggigit bibir. Dia betul-betul makin pusing. Jantungnya berdegup kencang. Setahun menghilang, malah dia melewatkan hal yang mengerikan.
"Cepat pergi dari sini, sebelum tertangkap. Coba cari Vina dan Nina di Cibinong. Minta sama Dudung kertas alamatnya. Sebelum pergi membawa Nina, itu Vina minta tolong Umi menyerahkan sebuah alamat kepada Mbak Kem. Katanya ada hal penting yang akan dia sampaikan..."
Kem menurut. Dia lalu mengambil kertas dari Dudung, dan menyimpannya di tas. Kepada Umi, dia menyerahkan sebuah kalung.
"Jual kalung emas saya ini, untuk berobat Umi. Jika kondisi memungkinkan, saya akan kembali"
***
Cibogo ke Cibinong, jelas lumayan jauh jaraknya. Tapi ada warga desa yang bersedia mengantarkannya pada pemilik taksi gelap.
"Lima ratus ribu ongkosnya"
Kem mengangguk pada si pemilik taksi gelap, lalu minta diantar sesuai alamat Vina. Hari semakin gelap, tapi Kem dan Ara tidak merasa lelah, apalagi lapar dan haus.
Tapi, perjuangan berjam-jam menuju Cibinong, ternyata tak berbuah manis.
"Dulu memang sempat tinggal di sini. Tapi kemudian menghilang" kata seorang wanita paruh baya, pemilik rumah kontrakan yang pernah ditinggali Vina dan Nina.
"Menghilang?"
"Iya, sekitar delapan bulan lalu! Kasihan, mereka dicari-cari pria bertubuh kekar dan membawa senjata. Entah apa kasusnya. Mungkin soal hutang piutang atau apa. Soalnya yang nguber kayak debt collector!"
Kem menghela nafas. Sudah diduganya, ternyata orang-orang suruhan Arsa sudah bergerak menyisir tempat terakhir Vina dan Nina terlihat. Tapi, terus mengejar keduanya untuk apa? Mereka tak ada hubungannya!
Malam itu, Kem membawa Ara untuk menginap di Hotel Cibinong. Dia sudah tak yakin bisa menemukan Vina dan Nina, fisiknya sudah lelah pula.
Usai makan malam dan mandi, Ara langsung tertidur. Sementara Kem, mulai mengaktifkan ponselnya. Nomor rahasia, yang dulu hanya Helen yang tahu. Dia coba menelpon Helen, ternyata tidak aktif. Artinya, bahwa benar jika Helen sudah mati. Air mata Kem langsung menetes.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suku yang Hilang
Mystery / ThrillerKemuning berusaha fokus menulis cerita untuk novel barunya agar kembali bestseller hingga difilmkan. Dia kemudian tertarik mengungkap fakta sejarah, tentang Suku Selendang Putih Gunung Salak, Bogor. Konon, suku ini sering menunjukkan jejak di sepan...