#53: Kalung

1.3K 242 11
                                    

Vina, tak pernah tersenyum sepanjang perjalanan. Apalagi Jenar Mentari, anaknya Jihan, terus saja menangis, dan Jihan tak bisa menenangkan anaknya.

Entah mengapa, Jihan hanya minta dikawal sopir, bukan baby sitter. Vina sedikitpun tak bersedia untuk bantu menggendong anaknya, membuat Jihan kesal sekali. Tetapi karena dia membutuhkan Vina, maka dia tidak bisa memarahi wanita itu.

Vina sudah terlampau kusut dengan pikirannya. Antara menyesal telah berbuat jahat pada Kemuning, juga menyesal harus terpaksa membawa Jihan mencari anaknya itu. Tetapi Vina butuh uang, juga butuh kendaraan untuk kembali ke Bogor. Hanya Jihan yang bisa melakukan itu, meski Vina tahu Jihan selicik itu.

"Oh, Tuhan! Bagaimana bisa aku tak mengenali anakku?" gumam Vina, sedih.

Dia menyesali keputusan keluarganya yang telah mengganti nama anaknya menjadi Kemuning. Berpuluh tahun berpisah, telah bertemu, tapi tetap tak bisa mengenali karena nama yang berbeda itu.

Kini, dia ingin mencari anaknya lagi, yang diyakininya kembali bersembunyi di gubuk para nenek bidadari. Apapun risikonya. Vina sudah terpikir untuk memeluk Kemuning, dan cucunya Ara. Rasa itu lebih besar dari pada kembali memeluk Nina.

"Masih lamakah?" tanya Jihan, yang gelisah membujuk anaknya untuk diam.

"Masih," sahut Vina, acuh tak acuh. Entah mengapa dia semakin membenci wanita itu.

****

"Gubuk Nenek Bidadari sudah terlihat!"

Dudung berlari kencang menuju rumah Pak Nagara. Pria yang sedang menggendong Nina itu, lalu memandang kejauhan. Melihat sebuah gubuk yang perlahan-lahan kelihatan.

"Cepat masuk, Dung. Ada adik-adik Aa Naga di dalam!" perintah Pak Nagara.

"Dedek Nina kumaha, Pak?"

"Masuk, Dung!"

Dudung bergegas masuk, sementara salah satu anak Pak Nagara segera mengunci pintu.

Pak Nagara berdiri, sambil memeluk Nina. Angin kencang mulai menerbangkan daun-daun kering, dan Nina mulai terdengar menangis.

Dari jauh, perlahan muncul para Nenek Bidadari yang melangkah mendekati Pak Nagara dan Nina. Mereka tersenyum manis, dengan rambut putih keperakan yang berkibar di tiup angin.

Pak Nagara tidak menghindar. Dia seperti sengaja menantikan kedatangan para Nenek itu. Debu dan dedaunan makin kencang beterbarang, sekencang jerit tangisan Nina dalam pelukan Kakeknya.

"Maafkan Kakek, Nina. Tapi ini demi kebaikan bersama. Kutukan ini harus segera berakhir," bisik Pak Nagara.

Langkah para Nenek tiba-tiba terhenti. Seketika itu juga, angin kencang juga ikut terhenti.

Nawang Sari maju ke depan. Dia kini hanya terpisah jarak satu meter, dengan Pak Nagara dan Nina.

"Mereka sebentar lagi tiba. Sepertinya, ini sudah waktunya." kata Nawang Sari, sambil tersenyum datar.

Pak Nagara menghela nafas, lalu membelai rambut cucunya, kemudian menatap Nawang Sari.

"Apakah sesuai perjanjian?"

Nawang Sari mengangguk,"Kami kaum bidadari, selalu memegang perjanjian. Justru kalian yang selalu lupa jika pernah berucap"

"Saya cuma ragu, apakah ini adalah momen yang tepat?"

Nawang Sari tertawa, lepas.

"Pada masa ini, mereka semua memiliki anak perempuan yang masih suci, yang bisa menggantikan Nawang Wulan dan Nawang Sari untuk pergi bersama kami meninggalkan bumi terkutuk ini. Formasi 9 yang kami memiliki, pastinya mampu mengelilingi Tata Surya. Kami akan muda kembali, dan anak-anak itu akan seusia dengan kami."

Suku yang HilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang