Vina memandang sekeliling, sambil terayun-ayun di atas pedati yang dikawal banyak prajurit. Patih sepuh itu sudah berada di depan, memimpin perjalanan berikutnya yang entah ke mana.
Hutan itu, masih perawan. Begitu lebat, gelap, dan tampak mengerikan. Dia tetap tidak menemukan Dudung, tetapi anehnya malah pasrah dibawa oleh orang-orang berpakaian kerajaan masa lampau itu.
"Tapi orang yang di depan itu, memanggilku Bidadari Nawang Wulan. Lha, namaku kan Harvina Nawang Wulan? Terus, mereka bilang, anakku Dewi Pohaci, apa Pokemon tadi. Lupa aku! Tapi ujungnya Larasati. Kan, nama Kemuning dulunya Larasati. Ada apa ini, ya?" kata Vina, bicara sendiri, di antara suara berisik derap kaki kuda.
Mereka terus menjauh, semakin dalam memasuki hutan yang kembali pekat berkabut.
****
Wangsakerta sudah tak sabar menunggu Jihan kembali. Tapi dia tak tahu harus mencari ke mana. Sopir Jihan juga belum kembali dari Bogor. Wangsa makin gelisah.
Dia tak nyaman berada di rumah Jihan. Rumah sebesar dan semewah itu, tanpa ada pembantu. Hanya tukang kebun yang sesekali datang untuk merapikan taman. Bahkan satpam juga tidak berjaga di rumah itu. Sepertinya, Jihan tidak menyukai ada banyak orang di rumahnya.
"Jika kau lapar, ingin makan... pesan makanan saja. Atau bawa mobil ke luar." kata Jihan sebelum pergi, sambil meletakkan banyak uang, sejumlah kartu dan kunci mobil.
Tetapi hampir sebulan di rumah itu, Wangsa justru merasa semakin resah. Dari yang hanya duduk nonton tivi, makan dan tidur, dia mulai bergerak mengelilingi rumah.
Tak banyak barang di rumah Jihan. Wanita itu, seperti tidak senang menghias rumah. Hanya barang-barang tertentu yang dibeli. Rumah itu, terdiri dari 2 lantai. Wangsa, menghuni kamar bagian bawah. Dia belum berani mencoba mengecek kamar lantai atas.
Tetapi, ketika Jihan tak lagi bisa dihubungi, dia mulai berani melangkahi tangga.
Hanya ada 2 kamar di bagian atas itu. Kamar yang sama luasnya, yang mengapit sebuah ruang kaca yang terdiri dari banyak baju, tas dan sepatu serta asesoris. Seperti butik pribadi, tapi itu koleksi Jihan untuk dipakai dalam kegiatan sehari-hari. Tapi dia sengaja membuat miniatur butiknya Bosta Rocca di rumahnya.
Kamar pertama, adalah kamar tidur bayi. Lalu satu lagi, sebuah kamar yang terkunci. Wangsa awalnya tak berani membuka, namun dia seperti mencium bau busuk. Seperti bau bangkai tikus.
Tanpa berpikir lagi, Wangsa cepat mendobrak kamar itu. Pintunya terbuka. Tapi tentunya, tak ada tikus di dalam rumah semewah itu. Bangkainya tidak ditemukan. Wangsa merasa menyesal telah mendobrak pintu kamar, dia khawatir Jihan akan marah. Tetapi kembali, dia mencium bau yang sangat busuk.
Kali ini, Wangsa justru makin penasaran. Dia berusaha terus mencari asal bau itu. Dia membuka laci-laci meja, serta tiarap di bawah tempat tidur untuk mengecek segala hal. Sampai akhirnya, dia berhenti di depan sebuah lemari dari kayu jati. Dia bersyukur, karena ternyata lemari itu tidak terkunci.
Ada sebuah kotak besar di sana. Wangsa lalu mengeluarkannya perlahan, dan meletakkannya di ranjang. Saat dibuka, betapa kagetnya Wangsa, karena menemukan foto-foto Kemuning, istri Arsa, mantan bosnya waktu di RS Cahaya Mentari, dalam keadaan setengah dirobek.
Bahkan ada satu foto yang robek di bagian kepala, ada tulisan: "Kau harus mati!"
Wangsa terus membongkar kotak besar itu. Dan dia makin terkejut, karena menemukan foto-foto mesra dan vulgar antara Jihan dan Arsa.
"Inikah gambaran orang yang diperkosa? Mesra begini. Ini sih suka sama suka!" kata Wangsa, sambil membanting foto-foto itu di kasur dengan marah.
Dia lalu memeriksa kembali kotak itu. Dan kemudian, menemukan semacam buku. Mirip buku Diary, tetapi sampulnya terbuat dari kulit kambing berwarna hitam. Wangsa merinding melihat buku itu, namun dia lebih merinding lagi, saat membaca tulisan di dalamnya:
Aku resah terus bermimpi ini.
Hujan memanggil
Lalu kami turun bersama pelangi
Menikmati air mata bumi yang terangkum pada ceruk penuh bebatuan.Nawang Wulan, dia yang selalu membuat masalah, terlalu beruntung hari itu.
Selendangnya dicuri, oleh seorang pemuda tampan.
Namanya Jaka Tarub!Tapi, aku suka pemuda itu. Suka!
Di planet kami, semuanya wanita. Baru kali itu, aku melihat pria yang membuatku tak ingin meninggalkan bumi.
"Nawang Mentari!"
Dia memanggil namaku, lalu kami berpelukan.
Tapi Nawang Wulan, yang menggendong seorang bayi, berusaha memisahkan kami.Aku menolak!
Lalu terbangun.Siapakah si Jaka Tarub itu?
Dia sungguh tampan rupawan.
Dia seperti pemimpin pada suatu golongan.
Di mana banyak orang memujanya.Siapakah dia di dunia nyataku?
Apa aku kenal?Tetapi aku yakin, dia bukan Wangsakerta si Dokter itu. Bukan!
Dia bukan tipeku.
Lelaki bodoh yang selalu mengejarku itu, sayangnya bukan orang kaya.
Mana bisa aku tertarik padanya?
Memalukan saja!Tipe pria idealku, adalah...suaminya Kemuning.
Si Arsa!Ya, seperti pria itu...
Dia sungguh tampan, dan sangat kaya tentunya!
Dia memimpin banyak perusahaan.
Melangkah penuh kharisma, serta dikagumi banyak orang.Aduh, dia benar-benar tidak cocok dengan Kemuning yang lugu dan terlalu sederhana itu.
Pria menggoda itu, patutnya diselamatkan!
Aku pikir, bagaimana kalau aku mulai berusaha menikung teman?
Wajah Wangsa berubah merah. Baru membaca lembar-lembar awal saja, dia sudah bisa menebak arah tulisan itu.
Hmm, begini ternyata rupa asli Jihan? Terlihat baik di depan, tetapi aslinya sungguh mengerikan!
Namun, dia harus menuntaskan bacaan.Sudah kuduga, dia selemah itu.
Gampang dirayu!Aku menjebaknya bercinta, saat mengantarku pulang dari makan malam atas undangan istrinya yang bodoh.
Oh, Arsa...
Kau betul-betul gagah perkasa.
Kau sangat I-S-T-I-M-E-W-A.Aku ingin memilikimu.
Harus!
Mesti itu, harus dengan menyingkirkan Kemuning..."Bangsat!" gerutu Wangsa.
Tapi tiba-tiba, terdengar langkah-langkah kaki di tangga. Suaranya begitu jelas, membuat Wangsa meletakkan buku itu perlahan, dan mengintip dari pintu kamar.
Seorang pria, dengan jalan yang terhuyung-huyung nampak menapaki anak tangga sambil berteriak parau.
"Jihan! Jihaaaan! Kenapa kau suruh aku membunuh Papiku? Kenapaa! Aku sudah meninggalkan Keeem... kini, Mamiku juga mati. Aku ingin anakku, Jihan. Di mana Ara? Di mana Kemuning?!"
"Arsa," gumam Wangsa, seraya bersembunyi dibalik pintu.
Lalu langkah-langkah tak beraturan itu, kini terdengar menapaki lantai. Wangsa memejamkan mata, dia mencoba menahan nafas.
(Bersambung)
KAMU SEDANG MEMBACA
Suku yang Hilang
Mystery / ThrillerKemuning berusaha fokus menulis cerita untuk novel barunya agar kembali bestseller hingga difilmkan. Dia kemudian tertarik mengungkap fakta sejarah, tentang Suku Selendang Putih Gunung Salak, Bogor. Konon, suku ini sering menunjukkan jejak di sepan...