11. Reina Itu Psikopat
Reina membuka pintu kamar dengan kasarnya. Menuruni anak tangga dengan cepat masih dengan handuk kecil yang mengalung di lehernya. Berjalan mendekati orang tuanya yang sedang berkumpul di ruang tamu.
"Pa!" teriaknya. Membuat keempat orang tua ditambah dengan Alby dan Adrian menoleh ke sumber suara. Kegiatan menonton televisi pun terjeda.
Alasan kenapa dua keluarga ini menonton televisi selalu di rumah ini bukan di rumah depan adalah karena di sana tidak ada televisi. Menghemat uang katanya. Juga, alasan kenapa selalu makan di rumah ini bukan di sana karena semua peralatan dapur ada di sini. Memang dari awal sudah berniat untuk menyatukan dua keluarga. Agar hemat juga.
"Tuh 'kan apa kata aku, kalo udah butuh duit juga baikan sendiri." Ira buka suara.
Reina mendengus. Wajahnya kesal. "Aku nggak butuh duit!"
"Hm. Terus?" sahut Ardan.
"Aku mau motor!" Reina berucap tanpa ragu. Membuat orang-orang di sana menatapnya kaget. Suasana tiba-tiba menjadi hening.
Belum lama, satu baju terlempar ke muka Reina. Refleks membuat mata sang empu memejam.
"Jangan ngadi-ngadi. Motor yang itu masih baru."
Sudah Reina duga. Inilah respon keluarganya. Ah, susah kalau begini. Belum apa-apa Nita sudah ngomel-ngomel.
Reina mendekati sang mama, duduk di sebelahnya yang sedang melipat baju bersama Ira. Menatapnya penuh harap. "Ma, aku mau berangkat naik motor sendiri. Nggak mau boncengan sama Nono."
"Jangan, Ma. Jangan! Tuh anak nanti malah keluyuran nggak jelas." Alby angkat bicara. Cowok yang semula tak peduli itu kini malah menjadi yang paling heboh.
Reina memelototi sang kakak tajam. Sampai rasanya bola matanya hampir keluar. "Apa sih lo? Ikut campur urusan orang!" sungut Reina. Dia kembali fokus pada sang mama. "Ma---"
"Nggak! Kamu tahu berapa harga laptop hadiah ulang tahun kamu itu?"
"Ya, tapi---"
"Ya udah kalo masih kekeh, sana jual aja laptopnya. Beli motor sana."
Reina tersenyum kecut. Tidak mau lah. Itu kan laptop mahal. "Ma---"
"Ngomong lagi, Mama coret kamu dari KK!"
Belum juga Reina selesai bicara, ucapannya langsung kena potong. Membuatnya menelan ludah sebab kaget. Merasa tak ada gunanya bicara sampai mulut berbusa kepada mamanya, kini dia berpindah duduk di samping Ardan. "Pa...." panggilnya, nadanya menggoda. Tapi bukannya meladeni, Ardan malah tetap fokus menonton televisi. "Ya, Pa? Nono suka keluyuran kalo pulang sekolah. Aku nggak suka naik bus," lanjutnya, memelas.
"Apa susahnya sih naik ojek online?"
Reina menengok ke samping dengan sorot matanya yang tajam. Memandang Alby yang kini sedang santai nyemil dengan mata yang fokus pada televisi.
"Kan tinggal diomong aja Nononya."
Mendengar jawaban enteng sang papa, Reina rasanya ingin mengamuk. Tapi dia tahan sekuat tenaga. Dia membuang napas, menetralkan emosinya yang hampir meluap. "Itu bukan solusi, Pa. Nono nggak bakalan nurut. Dia udah bucin banget sama pacarnya."
"Lo juga makanya minta anter sama pacar lo dong."
Raut wajah Reina kian mendatar. Sorot matanya menjadi tak suka. "Lo ngapain sih bawa-bawa cowok itu?" Dia mengomeli Alby yang entah sengaja atau tidak berbicara seperti tadi.
Reina bangkit dari duduknya, berjalan kembali ke kamar dengan kaki yang sengaja dihentak-hentakkan agar terdengar keras. Selain kesal karena keinginannya tak dituruti, dia juga kesal karena Alby membahas Rifki. Dia malu mengingat hal itu di depan keluarganya. Itu juga alasan kenapa pagi tadi dia tidak sarapan. Melihat mereka membuat harga dirinya terluka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rei(na) & Rei(no) [END]
Teen Fiction[FOLLOW SEBELUM BACA] [TIDAK PEDULI SEJELEK APA KARYA SAYA, SAYA TIDAK MENGIZINKAN PLAGIAT DALAM BENTUK APAPUN] Hanya keseharian dari Reina dan Reino. Anak yang sengaja dibuat di malam yang sama. Mereka bukan keluarga, apa lagi adik kakak. Akarnya a...