20. Cowok Juga Boleh Nangis
Dengan kekuatan yang masih ada, Reino berusaha keras untuk bisa menggendong Reina pulang ke rumah. Dia membawa beban berat ini kurang lebih sudah dari lima belas menit yang lalu. Padahal cuacanya sedang dingin, tapi tetap saja menghasilkan banyak keringat. Menggendong Reina bukanlah hal yang mudah. Tubuh cewek itu memanglah terlihat enteng, tapi kenyataannya sungguh lah berat.
"Jangan lemot! Bentar lagi hujan!"
Reino menengok ke belakang tidak sempurna, lantas mengeluh, "Na, lo nggak kasihan sama gue, ya? Tahu lagi sedih malah disuruh gendong lo yang berat ini."
Reina menjulurkan tangan, memasang ice cream yang tadi sedang dia makan ke mulut Reino. Reino menggeleng karena tak bernafsu. Sudah dari tadi mereka begini. Ice cream ini Reina dapatkan setelah tadi Reina meminta ke supermarket dulu. Katanya lelah, ingin minum. Sudah beli minum, minta beli ice cream juga. Nah terus Reina meminta Reino untuk menggendongnya juga.
"Gue capek. Ngelabrak tuh cewek butuh tenaga. Coba nggak ada gue. Lo pasti udah kelihatan nggak berguna."
Reino langsung menurunkan tubuh cewek di gendongannya. Membuat Reina protes kecil. Tapi tidak dia ladeni. Lantas, dia memilih duduk di trotoar jalan. Menundukkan kepalanya.
"Ngapain berhenti? Bentar lagi hujan, No. Gue nggak mau kehujanan."
Tidak mendapatkan jawaban, Reina berdecak. Lantas ikut duduk saja. Baiklah, istirahat dulu. Digendong Reino bukanlah hal enak. Tak tahu kenapa, rasanya dia ikut lelah.
"Lo nggak mau ngeledekin gue karena omongan lo tadi pagi bener?"
Mendengar suara Reino yang berbeda, Reina menoleh bingung. Ditambah lagi juga dia tak paham ke mana pertanyaan itu mengarah. Selanjutnya, ditatap balik juga oleh cowok itu dengan tatapan pasrahnya.
"Waktu lo bilang Fani bukan cewek setia. Omongan lo bener. Lo nggak mau ngeledekin gue?"
Baiklah, sekarang Reina paham. Dan dia langsung merasa tak enak. "Bu-bukan---ah, apaan sih lo!" Reina kesal karena malah dituduh begini.
Reino langsung menunduk lagi. Dia paham kali ini bagaimana rasanya jadi Reina. Ya, Reina yang harga dirinya gampang tersakiti. Sekarang dia juga sedang mengalaminya. Dia malu karena Reina tahu akan hal ini. Apa lagi ketika cewek itu melihatnya tak berdaya di depan Fani tadi.
"Gue becanda aja, No. Sorry kalo lo ngerasa sakit karena ucapan gue."
"Lebih sakit karena apa yang lo omongin adalah fakta, Na."
Reina bungkam. Dia sudah berhenti memakan ice cream sejak kalimat maaf yang diucapkannya tadi. Ditambah lagi karena perkataan Reino barusan, rasanya dia sudah tak nafsu makan ice cream ini.
"Tadi Raja yang ngasih tahu gue kalo Fani jalan sama anak kelas dua belas sambil gandengan tangan. Terus gue dikirimin juga foto Fani lagi ciuman sama tuh cowok." Selesai berbicara, dia menengok ke samping. "Barangkali lo pengen tahu tapi nggak enak buat nanya.
"Gue awalnya nggak percaya. Tapi setelah gue telepon, Fani nggak ngangkat-ngangkat juga. Gue sedikit khawatir kalo apa yang dibilang Raja itu bener. Tapi masih berusaha berpikir positif karena sebelumnya Fani bilang dia ada acara keluarga.
"Sampai akhirnya gue bener-bener ngerasa jatuh karena dari satu telepon yang diangkat, gue ngedenger suara aneh."
Reina diam. Sungguh, kali ini dia sedang serius. Dia juga bisa bersikap serius. Saking kondisinya sangat serius, dia sampai bingung mau bicara apa. Namun, kepala yang semula ikut tertunduk seperti cowok di sampingnya kini dia angkat. Menoleh ke samping kala mendapati suara seseorang menahan tangis. "Kampret, lo nangis?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Rei(na) & Rei(no) [END]
Teen Fiction[FOLLOW SEBELUM BACA] [TIDAK PEDULI SEJELEK APA KARYA SAYA, SAYA TIDAK MENGIZINKAN PLAGIAT DALAM BENTUK APAPUN] Hanya keseharian dari Reina dan Reino. Anak yang sengaja dibuat di malam yang sama. Mereka bukan keluarga, apa lagi adik kakak. Akarnya a...