Maaf, ya, lama banget ga update:"
60. Keinginan Untuk Putus
"Jadi maksudnya kalian bolos?"
Tidak perlu melihat wajah, Reina maupun Reino tahu jika keempat orang tua sedang marah. Hawanya sudah terasa semenjak menginjakkan kaki ke rumah. Ditatap mengintimidasi oleh kedua mama sebab pulang sebelum waktunya.
"Bener mereka bolos?" Pertanyaan ini dilontarkan kepada Papa Ardan dan juga Papa Farhan yang menjadi saksi bagaimana dua anaknya tengah berpelukan di luar sekolah saat belum jadwalnya mereka pulang.
Papa Ardan tatap Sang istri, lantas menjawab sejujurnya, "Nggak tahu, Ma. Tapi belum jam pulang tapi ada di luar sekolah itu ngapain?"
"Nana, Nono, bisa jelasin?" Mama Nita kembali bersuara. Suaranya begitu mengintimidasi, kaki Reina sampai gemetar di bawah meja karenanya.
"Jelasin yang nggak pakai bohong. Nggak pakai alasan pulang cepat, nggak juga alasan sakit." Mama Ira ikut bersikap tegas. Bolos itu tidak diterima di keluarga mereka. Terserah mau dia pintar ataupun bodoh, yang namanya bolos itu beda lagi. Terhitungnya orang itu tidak terpelajar.
Berakhir Reino jelaskan apa yang benar-benar terjadi. Kejadian pergi ke danau dimasukkan karena jika nanti ketahuan bohong masalahnya akan beda lagi. Didiami keluarga itu sudah pernah dirasakan, serius, rasanya tidak enak sama sekali. Reina sampai tidak mau keluar kamar karena itu. Katanya sakit ketika keluar kehadirannya malah tidak dianggap. Awal masalahnya sebab mereka berdua ketahuan pakai uang sekolah untuk pergi ke mall membeli pakaian.
"Kalian itu sebenernya mau jadi apa? Apa ini artinya Mama Papa biayain kalian sekolah itu sia-sia?"
Kepala dua anak yang duduk beriringan itu menegak cepat. Terkejut dengan perkataan Mama Ira yang begitu memberikan efek besar. Jantung berdegup kencang, dan hati terasa perih.
"Nana, Nono, kalian udah kelas dua belas. Udah puas 'kan main-mainnya? Jadi untuk sekarang fokusin diri untuk belajar, ya. Nggak, nggak harus dapat rangking di atas. Cuma belajar yang bener. Bisa?" Papa Ardan memberikan nasihat tidak dengan nada orang marah. Kedua papa memang jarang sekali sampai main bentak.
Dua anak yang sedang dinasihati mengangguk sambil masih tundukkan kepala. Namun, merespon itu artinya ketakutan mereka sedikit berkurang.
"Apa kalian punya mimpi?"
Jenis pertanyaan ini jika tidak dijawab malah akan membuat omelan datang lebih. Maka Reina beranikan diri tatap mata Mama Nita yang masih pancarkan emosi, "Apa kalo aku jawab nggak punya, aku bakalan kena omel lagi?" Reina bertanya balik dengan binar tersakiti.
Setidaknya Reina juga pusing. Anak SMA tingkat akhir tapi tidak punya mimpi. Reina juga tidak mau seperti ini. Kadang mata tidak sadar sampai berkaca-kaca karena pikiran ini. Reina kesulitan. Apa yang harus dilakukan nantinya? Dirinya bodoh dan tidak tahu apa-apa. Reina tidak bisa temukan mimpinya.
"Nana sama Nono nggak lapar? Masuk kamar terus mandi, ya. Nanti turun ke bawah, kita makan. Papa tadi beli makanan."
Jauh sekali ekspresi yang diberikan papa dan mama. Reina mungkin akan menangis di tempat jika Papa Fahri tidak sengaja alihkan topik. Dada sudah terlalu sesak sebab terima banyak omelan.
***
"No, apa kita putus aja?"
Baru juga Reino selesai tutup pintu kamar, pendengarannya diisi oleh suara pacarnya yang sungguh membuat terkejut. Kepalanya cepat menoleh dan menemukan bagaimana Reina menatapnya dengan wajah cemas. "Na, apa maksud lo? Kenapa enteng banget bilang hal kayak gini?" Cepat didatangi pacarnya. Kasur bergerak karena dapat beban baru.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rei(na) & Rei(no) [END]
Novela Juvenil[FOLLOW SEBELUM BACA] [TIDAK PEDULI SEJELEK APA KARYA SAYA, SAYA TIDAK MENGIZINKAN PLAGIAT DALAM BENTUK APAPUN] Hanya keseharian dari Reina dan Reino. Anak yang sengaja dibuat di malam yang sama. Mereka bukan keluarga, apa lagi adik kakak. Akarnya a...