43. Hasil yang Tidak Bagus
"Gue bilang jangan pergi, Na!"
"Tapi gue mau pergi, No!"
Reino mengacak rambut kasar. Harus pakai cara apa lagi untuk membuat cewek itu menuruti keinginannya satu kali saja? Reino tidak rela dan tidak akan pernah rela Reina pergi kencan saat dirinya sudah menyadari perasaannya.
"Bisa nggak lo nurutin kemauan gue?"
"Gue nggak pernah janji buat itu!"
Reino mendengus kelewat kasar. Hatinya panas sekali. Kesal apa lagi, ditambah Reina juga yang begitu batu.
"No, punya pacar itu salah satu kebahagiaan buat gue. Gue nggak peduli bahkan kalo hati gue disakiti berulang kali. Lo kenal gue udah lama, gue orangnya gampang move on, No. Jadi lo nggak perlu khawatir."
Reino ingin berteriak saking kesalnya. "Tapi, Na---" Haruskah diungkapkan sekarang? Reino begitu ragu tentang hal ini mengingat waktunya tidak tepat. Mereka sedang di rumah. "Na, gue---" Putus lagi. Mengungkapkan perasaan butuh persiapan. Tidak bisa mendadak begini. Reino begitu grogi.
Reina begitu sabar menunggu cowok itu menyelesaikan ucapannya. Tidak juga bicara, Reina memasukkan liptint yang barusan dipakai ke dalam tas. Menepuk pundak yang lebih tinggi sambil bicara, "Udah, ya! Nanti gue balik lagi! Dadah!"
Ini sudah kedua kalinya Reino gagal menyatakan perasaannya. Tak bisa juga mencegah cewek yang sudah menuruni anak tangga didengar dari suaranya agar berhenti. Berakhir berdiam diri di kamar karena takut kalau keluar malah kena omel orang tua karena memasang ekspresi murung begini. Murung, tapi akan dianggap sedang ngambek, biasanya itu akan yang terjadi. Mengelak pun akan dikatai bohong, sudahlah, orang tua---lebih tepat kedua mamanya---memang selalu benar.
***
Reina bisa apa selain menunduk? Membual kalau ini sebuah kesalahan? Tidak mungkin. Orang tuanya lebih percaya pada apa yang sudah ditatap lebih dulu daripada dirinya. Tangan yang meremat rok pendek berhenti saat mendengar suara helaan napas Mama Nita.
"Delapan belas?"
Kepala yang semenjak tadi menunduk kini diangkat pelan-pelan. Takut jika terus menolak kontak mata dikatai tidak mendengarkan. Sempat bertatap muka dengan Alby maupun Adrian---memasang wajah terang-terangan meledek---yang memang sudah tidak pergi ke sekolah. Tinggal menunggu pengumuman SNMPTN.
"Kok bisa? Katanya kamu nggak bakalan dapat rangking di atas empat belas?" Kali ini Mama Ira yang bersuara begitu mengintimidasi setelah Mama Nita. "Ya Allah, Nono dapat ke tiga belas, kamu di angka delapan belas?"
"Kenapa?"
Sepertinya hari ini jatah Reina kena ceramah sepanjang hari. Tak tahu kenapa kedua papanya juga ada di rumah saat yang seharusnya pergi bekerja.
"Lihat raport Nana." Mama Nita memberikan raport pada sang suami yang duduk di sebelahnya. Sedangkan Papa Fahri kini sedang mengamati nilai milik Reino. Adrian malah memanas-manasi dengan berkata nilai Reino itu buruk.
"C semua?"
"Iya. Masa dari dulu nggak pernah ada perubahan." Mama Nita menyahuti pertanyaan Papa Ardan. Kini suaminya itu geleng-geleng, membuat Reina tambah berkecil hati. "Nana, kamu belajar 'kan?"
Hati Reina bergetar. Menyesakkan sampai ditanyai pertanyaan seperti ini. Seolah orang tuanya tidak percaya kalau selama ini yang dilakukannya di sekolah adalah belajar. Mungkin di pikiran mereka anak mereka yang paling bodoh ini hanya suka bermain-main.
"Ma, walaupun nilaiku nggak ningkat, rangkingku naik. Aku juga tetap naik kelas."
"Ningkat karena dua orang lain di kelas lo jarang masuk, 'kan? Dan yang satunya karena pindah sekolah. Itu sama aja artinya lo rangking paling akhir." Alby bicara yang setelahnya menyeringai melihat wajah Reina yang lemas, tanda tidak bisa membalas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rei(na) & Rei(no) [END]
Teen Fiction[FOLLOW SEBELUM BACA] [TIDAK PEDULI SEJELEK APA KARYA SAYA, SAYA TIDAK MENGIZINKAN PLAGIAT DALAM BENTUK APAPUN] Hanya keseharian dari Reina dan Reino. Anak yang sengaja dibuat di malam yang sama. Mereka bukan keluarga, apa lagi adik kakak. Akarnya a...