45 | Enggan Mengaku

111 27 6
                                    

45. Enggan Mengaku

Otak Reina macet. Mencoba mengulang di dalam hati kalimat yang barusan diucapkan Reino dengan ekspresi kelewat serius, tidak bisa dikatakan becanda. Rasanya tadi Reino mengatakan kata lain selain gue, sama, dan lo. Tapi apa? Otaknya berasa lama sekali untuk mengingat, seperti jalannya siput.

Menangkap, tapi enggan mengaku kalau dirinya mendengar dengan jelas. Reina menatap agak tajam lawan bicara karena berani mempermainkan dirinya. Tentulah cowok itu becanda. Ya kali benar mengucap kata cinta kepadanya!

"Tai lo! Nggak lucu! Bikin mood jadi jelek lagi aja!"

"Tapi kemungkinan Nana bakalan nggak percaya saat lo ngungkapin perasaan. Pasti dia ngira lo lagi becanda."

Benar kata Navia. Saat dirinya mengungkapkan perasaan, pasti Reina menganggapnya becanda. Reino mengingat perkataan sahabatnya saat meminta saran hari itu. Cinta di hubungan yang sudah terjalin tujuh belas tahun lamanya---bisa dibilang mirip saudara---tidak mungkin datang. Reina tidak mungkin percaya akan hal itu. Jika dikatakan dengan bahasa yang kasar, itu tidak mungkin terjadi.

"Na, gue---"

Reina segera memukul lengan yang lebih tinggi, menghentikan kalimat yang akan meluncur dari belah bibir. "Diam, Anjing! Gue merinding!" Reina menatap wajah Reino yang masih menunjukkan ekspresi seriusnya. "No, please, ganti ekspresi lo! Gue takut lihatnya!" Takut jika-jika hal itu benar terjadi. Ayolah, ini menggelikan. Becandaan Reino kelewatan sekali. "Gue udah nggak papa, serius. Gue baik-baik aja. Makasih buat lo yang bawa gue ke sini. Jadi, lo nggak perlu ngeluarin candaan menggelikan kayak gitu juga, Kampret! Nggak lucu! Gue merinding sekujur badan!"

Sudah terjadi, maka biarkan Reino menyelesaikannya. "Na, gue nggak ngucap kata sayang. Tapi cinta."

Kata sayang diucapkan Reino cukup sering untuk Reina saat cewek mungil itu sedang bersedih. Namun, tidak dengan kata cinta. Kata cinta tidak bisa diucapkan karena memiliki makna yang berbeda. Dan itu bukanlah kata yang cocok untuk diungkapkan di hubungan Reina dan Reino.

Reina masih sadar kalau dirinya tidaklah sedang bermimpi. Hembusan angin juga kaki yang menapak ini benar adanya, ini nyata. Benar adanya fakta kalau dirinya di tempat ini, bersama Reino dengan cowok itu yang barusan mengucap cinta kepadanya.

Wajah Reina begitu gelap. Bukan marah, melainkan terlihat kosong dan kehilangan arah. Memandang tepat di mata Reino yang juga terarah pada netranya. Mencari kebohongan brengsek cowok itu yang mengeluarkan candaan begini. Namun, tak kunjung juga menemukannya.

Dan akhirnya kata cinta yang Reino utarakan membuatnya sadar. Kali ini bukan kata sayang, tapi cinta.

Reina gelisah bukan main.

***

Dua hari lalu Reino mengungkapkan perasaannya. Rasanya jika bisa, dirinya ingin meminjam alat ajaib Doraemon untuk melihat rekaman hari itu. Ingin melihat ekspresi wajah dirinya sendiri. Terlihat berbohong atau tidak, kelihatan tulus atau tidak. Pasalnya, setelah hari itu Reina tak berubah sama sekali. Seperti di mana Reino mengungkapkan perasaan, hari itu tidak pernah ada.

Reino takkan memaksa Reina untuk mempercayai kalau apa yang diungkapkan hari itu adalah benar. Hanya saja sesekali jika waktunya tepat, topik itu dibawa lagi walaupun Reina langsung mengomelinya karena terus mengeluarkan yang kata cewek itu candaan yang sama sekali tidak lucu. Harusnya jika itu candaan, Reino tidak mengatakannya dengan wajah serius, bukan? Harusnya jika itu lucu, Reino tertawa, bukan? Tidak bisakah cewek mungil itu memahami lebih jeli lagi?

"Nggak bisa, ya?"

"Iya, maaf. Gue sekarang lagi di desa, di rumah nenek gue."

"Oh ya udah. Tapi nanti janji kalo udah balik kita ketemu, ya?"

Rei(na) & Rei(no) [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang