42 | Pengungkapan yang Gagal

142 26 8
                                    

Jangan lupa komennyaaa. Kangen balesin komenan kalian:"

42. Pengungkapan yang Gagal

"Yang lo butuhin itu bukan waktu, No. Tapi keberanian."

"Gitu, ya, Vi?"

Navia mengangguk kuat sekaligus cepat. Pandangannya turun sebentar untuk menggenggam sendok dan mulai menyuapkan siomay yang mana sempat terjeda karena begitu serius memberi arahan kepada Reino.

"Tapi gue takut ditolak."

Navia langsung diam. Ekspresinya menunjukkan kalau dirinya sedang bingung. Benar, pasalnya Reina sejauh ini tidak menunjukkan gelagat jatuh cinta pada Reino. Bahkan cewek itu terang-terangan ingin pergi kencan. "Itu masalah belakangan, No. Lo tahu, pengorbanan itu perlu. Lo ditolak? Ya, jangan nyerah! Usaha buat hati Nana luluh!" Navia tersenyum lebar melihat kepala Reino mengangguk. "Jadi, mau kapan lo ngungkapin?"

"Diam-diam, ada Raja!"

Navia segera menengok ke belakang. Buru-buru membenarkan posisi duduk dan bersikap seolah tidak terjadi apa-apa tahu Raja berjalan mendekat seusai pergi ke toilet.

Sepertinya kedua orang di sana sedang PDKT. Raja memikirkan kesimpulan yang dibuatnya sendiri. Akhir-akhir ini mereka berdua sering tertangkap mengobrol berdua yang sepertinya tidak mau diketahui orang lain. Tapi bersikap tidak tahu apa-apa, dia tak acuh mengambil duduk di samping Navia yang mana bisa diisi orang lain di tengahnya---tempat duduk Diandra yang sedang pergi memesan makanan bersama Reina.

Senyum Reino kelewat lebar mendengar suara langkah kaki diiringi suara Reina yang sedang mengobrol bersama Diandra. Menengok cepat untuk menatap manusia mungil dengan satu mangkuk di tangan.

"Boleh. Ajak aja. Biar tambah ramai."

Diandra mengangguki perkataan Reina. Kemudian menatap Navia, memberi gestur agar cewek itu berpindah duduk ke tengah. Melihat sahabatnya itu menggeleng sambil melirik Raja takut, dirinya mengalah. "Kenapa sih, Vi?---Tunggu, kalian lagi berantem?" Kepalanya menengok ke arah Raja juga. Baru sadar kalau kedua sahabatnya itu akhir-akhir ini saling menghindar.

Navia melirik lebih dulu kepada Raja, baru disusul oleh Raja setelah pandangan Navia kembali pada piring. "Nggak. Gue bosen duduk di tengah. Engap."

Semenjak kejadian di bus, pagar rasanya bisa tumbuh. Bukan hanya membatasi fisik Navia dan Raja, tetapi komunikasi pun rasanya sudah tidak sesering dahulu. Obrolan yang kadang-kadang terjadi pun rasanya sangatlah dingin dan kaku. Ditambah karena Navia tahu Raja sering bertemu dengan adik kelas yang waktu itu mengobrol akrab di trotoar jalan, pulang sekolah pasti akan saling tunggu di depan kelas. Navia memilih menjauh untuk kebaikan hatinya dan hubungan kedua orang itu walaupun dirinya tidak melakukan sesuatu yang bisa membuat hubungan tersebut rusak.

"Oh iya, Vi, ayo download aplikasi dating online! Mumpung bentar lagi libur. Siapa tahu nanti dapat yang cocok bisa dibawa nge-camp bareng! Itu Diandra nanti mau bawa pacarnya!"

Reino menoleh tak suka. Mendengus yang mana langsung membuat Reina mengalihkan perhatian padanya. "Pengen banget, ya, lo dapat rangking terakhir dan laptop lo dirampas? Biar puasa lihat oppa-oppa?"

"No, gue nggak ngerti sama lo. Kenapa sih lo selalu ikut campur kalo gue mau pergi kencan? Gue tahu banget kalo gue sering gagal dalam cinta. Sering nemu modelan cowok berengsek juga. Tapi, kalo gue nggak nyoba cari, gue nggak bakalan dapat yang baik."

Reino harus punya sesuatu yang bisa mengikat Reina agar tidak bisa pergi kencan. Yaitu cara yang setidaknya membuat cewek itu benar-benar akan patuh. Bukan kedua mamanya atau kedua papanya, tapi pernyataan cinta darinya. Dirinya juga tidak mau terus-terusan merasakan sakit tiap kali cewek mungil itu membahas cowok lain di depannya. Baiklah, ungkapan cinta harus dilakukan secepat mungkin.

Rei(na) & Rei(no) [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang