49. Menjadikan Reina Impian
Reina duduk di teras setelah makan malam. Sendirian itu tidak masalah untuknya mengingat dirinya bukan Reino, Reina itu paling berani sejak kecil. Bahkan rumah hantu yang didatanginya ketika berumur tujuh tahun tidak membuatnya merengek apa lagi menangis.
Salah seorang tetangga lewat, menyapanya dengan hangat. Reina hanya mengangguk sambil memberi senyum karena tidak mengerti sebab bapak-bapak yang barusan lewat bertanya menggunakan bahasa Sunda. Hanya mengerti sedikit kalau bapak tadi bertanya apakah dirinya sedang nongkrong.
Earphone dipasangnya ke ponsel, masuk ke aplikasi musik untuk mendengarkan lagu secara acak. Kaki yang luka menjadi pusat perhatian setelahnya, lututnya biru dan sedikit lecet karena terjatuh tadi. Tidak ada mendingnya, kakinya sulit dibawa berjalan.
"Coba gue lihat mana yang sakit."
Reina menoleh sedikit terkejut, melepas satu earphone dan mendapati Arabella mendekatinya dengan langkah kaki yang lebih buruk darinya. Tidak enak dilihat, Reina tidak tega melihatnya.
"Lo ngapain ke sini? Harusnya istirahat."
Arabella tidak menjawab, mengambil duduk di samping sang adik dengan prihatin. Menarik kaki kirinya, mengamati kaki yang luka. Sedikit lega tidak terlalu parah. "Lagian kenapa bisa sampai jatuh, sih? Ngomelin orang nggak hati-hati tapi sendirinya juga kayak gitu."
Senyum Reina tidak bisa ditahan. "Bella, lo barusan cemasin gue?" Arabella menatapnya gugup, buru-buru selanjutnya mengoleskan salep. "Ah, pelan-pelan." Caranya sedikit kasar, tebaknya karena malu. Hubungan keduanya tidak sedekat itu untuk saling mengkhawatirkan satu sama lain walaupun kakak adik, Reina bisa memahaminya.
"Makasih." Reina tidak akan canggung lagi untuk mengatakan kata-kata maaf dan terima kasih mengingat hubungan keduanya sedikit membaik. Reina menyimpulkan seperti itu karena bisa merasakannya. Raut wajah Arabella ketika tahu dirinya pulang tadi terluka sudah mirip seperti Reino, hampir benar-benar mirip ketika cowok itu melihatnya tidak baik-baik saja.
Arabella hanya mengangguk tanpa menatap lawan bicara. Tahu obrolan takkan berlanjut jika mengandalkan kakaknya yang harus mencari topik, Reina yang mengerti bertanya, "Lo sendiri gimana? Kaki lo udah mendingan?"
Lagi, hanya anggukan kepala yang menjadi jawaban. "Lo jangan dingin-dingin banget kenapa. Pantasan nggak pernah punya pacar." Rasanya sudah lama sekali Reina becanda bersama Arabella. Jangankan becanda, mengobrol saja sebulannya bisa dihitung. Banyak bicara hanya ketika sedang bertengkar saja. "Apa? Bener 'kan gue?" Reina bertanya melihat wajah sang kakak menatapnya kesal--- tidak benar-benar kesal---karena diledek tidak pernah punya pacar.
"Apaan sih lo?"
"Halah, malu tuh."
"Apa?"
Reina tertawa melihat wajah sang kakak yang sudah memerah karena malu. Belum sempat membalas, ponselnya bergetar. Itu pesan dari Davian. Senyumnya melebar, segera berniat untuk membalas.
"Iya. Abang juga sayang sama Nana."
Senyum Reina tambah lebar selesai mendengar voice note yang dikirim kakak kesayangannya. "Sayang banget sama Abang pokoknya. Sayang, sayang banget."
"Lo nggak malu, ya, ngucap kata sayang?"
Atensi Reina teralih pada Arabella yang sedari tadi melihat pergerakannya. "Malu? Untuk apa? Itu 'kan Bang Davian."
"Maksudnya ke semuanya. Papa, Mama, apa lo nggak pernah malu ngucap kata sayang sambil cium pipi mereka?" Pertanyaannya diajukan dengan ragu-ragu. Sedikit malu melontarkan pertanyaan seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rei(na) & Rei(no) [END]
Teen Fiction[FOLLOW SEBELUM BACA] [TIDAK PEDULI SEJELEK APA KARYA SAYA, SAYA TIDAK MENGIZINKAN PLAGIAT DALAM BENTUK APAPUN] Hanya keseharian dari Reina dan Reino. Anak yang sengaja dibuat di malam yang sama. Mereka bukan keluarga, apa lagi adik kakak. Akarnya a...