07 | Reina Itu Orang Yang Paling Penting

299 53 5
                                    

️Ada adegan berantem. Yang mungkin nggak mau baca karena suatu alasan, bisa di-skip part ini, ya⚠️Dan ini tidak untuk ditiru⚠️

07. Reina Itu Orang Yang Paling Penting

"Ayo putus."

Senyum Reina luntur. Bahunya merosot ke bawah. Air mukanya terlihat seperti baru saja mendengar sesuatu yang tidak masuk akal. "Hah?"

"Ayo putus," ajak Rifki lagi, intonasinya kini melemah tapi suaranya masih terdengar tegas. "Aku dan kamu. Ayo putus."

Semua orang langsung berbisik-bisik entah membicarakan apa. Hampir semuanya. Bahkan untuk kefokusan, semuanya terarah pada mereka berdua.

Reina itu tidak baperan. Hatinya biasanya tidak seperti ini. Sekasar apapun orang memperlakukannya, dia takkan merasa sakit hati seperti ini karena dirinya adalah perempuan kuat. Tapi kali ini, sungguh, hatinya terasa perih. Semacam ada sesuatu yang mendarat di sana. "M-maksud kamu?" Reina bertanya dengan suara gemetar.

"Kita putus." Rifki membuang napas pendek. "Makasih dan permisi."

Reina tidak paham dan tidak percaya. Dia hanya diam saking shock-nya. Matanya tak luput memandang Rifki dari belakang yang barusan memutuskan secara sepihak. Setelah selesai menyelesaikan perkataannya tadi, cowok itu langsung melenggang pergi tanpa merasa bersalah sama sekali.

Reina menengok ke berbagai arah. Orang-orang kini sedang membicarakannya. Itu sungguh membuatnya malu. Malu sampai rasanya seperti tidak punya harga diri. Apa lagi dengan air mata yang menetes seenaknya ini. Ah sangat menyebalkan.

Buru-buru, Reina berbalik badan. Berlari dari sana. Berlari dengan cairan bening yang merembes dari pelupuk mata. Membuat orang-orang yang melihatnya merasakan berbagai macam perasaan. Tidak hanya iba, kesal, bahkan ada yang sedang menahan tawa.

"Na...." Reino memanggil Reina cukup keras. Dia cukup bimbang untuk mengikuti Reina atau berlari menyusul si bedebah Rifki. Tapi sekarang kakinya memilih melangkah mengejar Rifki.

***

Tendangan seseorang mendarat di punggung Rifki yang tengah berjalan di trotoar jalan. Dan itu membuat sang empu tersungkur ke tanah cukup kuat.

Rifki melenguh pelan, pelan-pelan dia mencoba bangkit dengan wajah kesalnya. Memutar tubuh, setelahnya bola matanya membulat. "Sialan," umpatnya. Baru saja Rifki akan buka suara lagi, orang itu; Reino sudah mendekatinya sambil menarik kain sweater di bagian leher. "Lo-lo mau apa?" Rifki bertanya sedikit gugup.

"Mau apa, mau apa, mau bunuh elo, lah!"

Mendengar jawaban Reino barusan, Rifki tanpa sadar meneguk ludah.

"Lo kok bangsat banget, sih?"

Rifki melepaskan diri dengan kasar, wajahnya kini sudah berubah menjadi berani. "Itu dia sendiri yang minta gue buat ngomong di sana. Lo nggak bisa nyalahin gue lah."

Sungguh, Reino gregetan. Dia kembali menarik sweater Rifki. "Sialan! Dasar, Anjing!"

Rifki lagi-lagi menyingkirkan tangan Reino, memandang cowok di depannya tanpa rasa takut dan rasa bersalah. "Gue bilang itu kemauan dia!"

"Sialan, lo bahkan nggak ngerasa salah!"

"Gue emang nggak salah!"

Berbarengan dengan menonjok rahang Rifki, Reino mengumpat, "Anjing!"

Rifki memegangi rahangnya yang ngilu. Menatap lawan bicaranya penuh amarah. Dia menonjok Reino balik di bagian rahang. Dan setelahnya, mereka adu tonjok. Keduanya terlihat sangat emosi. Bertengkar di trotoar jalan di mana lampu di atasnya mati. Jadilah mereka seperti bertengkar di kegelapan. Hanya ada penerangan dari bulan saja.

Rei(na) & Rei(no) [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang