04 | Bunyi Kentutnya Reino

379 54 6
                                    

04. Bunyi Kentutnya Reino

"Yakin?" Reino bertanya sambil memandang kunci motor yang baru saja diberikan oleh Reina.

Reina menoleh sekilas ke arah Reino. Dia sedang sibuk merapikan alat tulisnya. "Ya. Kalo mama nanyain ke mana jawab aja ke toko buku lagi beli buku buat ujian."

Reino terkekeh sinis, "Goblok. Mama nggak bakalan percaya," katanya meledek, "toko buku itu terlalu tidak mungkin. Orang kayak lo nggak mungkin ke toko buku, Nana. Mama nggak bakalan percaya."

Reina dengan wajahnya yang tak mengeluarkan ekspresi hanya menatap wajah cowok di sampingnya yang sudah siap dengan tas di gendongannya.

Reino tertawa lagi, kemudian menepuk jidat cewek pendek itu. Membuat sang empu yang mungil itu terdorong ke belakang. "Gue bakal bilang lo ke kafe lagi kerja kelompok. Udah, pasti percaya."

Reina langsung nyengir, setelahnya balas menepuk jidat Reino lebih kasar dan berlari keluar ruangan sambil terkekeh puas.

"Nana, Kampret!"

***

"Na, ke mana?"

Reina menoleh menatap Navia yang merangkul bahunya. Sahabatnya itu baru saja keluar dari kelas. "Pulang lah."

"Sama Rifki?"

"Yoi."

"Kenapa, sih? Kan harusnya sama Nono aja."

Reina menatap aneh Navia yang memasang wajah yang terlihat bete. Setelahnya menghela napas, menetralkan perasaan kesalnya yang selalu muncul kala Navia selalu seperti ini semenjak dulu. "Serius, lo bisa berhenti kayak gini nggak, Vi? Malas banget gue."

Navia manyun, tak memperdulikan raut wajah kesal Reina. Belah bibirnya malah terbuka lagi untuk melanjutkan kebiasannya, "Tapi lo cocok sama Nono."

Navia itu tim kapal Reina dan Reino. Sejak awal bersahabat, dirinya sudah terang-terangan mendukung hubungan antara Reina dan Reino yang jelas-jelas hanyalah sahabat. Reina tentunya sudah mencoretnya dari daftar sahabat jika saja cewek itu bukan sahabat yang baik. Muak dijodoh-jodohkan seperti itu. Tapi lagi pula rasanya terlalu aneh memutus persahabatan hanya karena hal seperti itu.

"Berhenti nggak lo? Atau mau gue tendang?"

Diancam sambil ditatap tajam seperti itu, nyali Navia menjadi ciut. Cewek yang tak kalah bawelnya dari Reina itu meluruskan pandangan untuk menghindari kontak mata dengan Reina yang semakin lama tatapannya semakin tajam membuat bulu kuduk merinding. Mengalihkan topik pembicaraan dengan menghela napas terlebih dahulu. Membuat yang di samping menoleh pada sahabatnya yang mirip tiang listrik. Menatap seolah meminta penjelasan kenapa barusan menghela napas.

Dengan bahu yang melorot, kepala Navia miring ke samping setengah menunduk untuk menatap Reina dengan mata coklatnya. "Gue juga pengen punya pacar." Selanjutnya, keluarlah desahan dari belah bibir pink tipisnya. Sungguh lelah menjadi jomblo.

Reina balas terkekeh, "Nggak mungkin, Woi."

"Anjir, lo, Nana."

"Kalo lo mau punya pacar, lo harus tahu dulu kekurangan lo di mana." Reina bicara sok pintar, memandang tubuh sang sahabat dari atas sampai bawah. "Selain lo itu terlalu tinggi, lo harus ubah salah satu bagian tubuh lo," kata Reina sambil memandangi tubuh kurus sahabatnya itu dengan mata yang dipasangnya pura-pura serius. "Nih, di sini," tambahnya sambil meremas dada Navia. Setelahnya, buru-buru kabur dari sana. Mengundang tatapan aneh dari beberapa murid yang kebetulan berada di sana.

"Nana, Kampret!" omel Navia tak benar-benar marah, namun sedikit malu karena diperhatikan beberapa murid. "Awas, Woi, jangan lupa nanti malam! Jam tujuh!" lanjutnya. Dan Reina yang mendengarnya hanya menjentikkan jarinya tanpa berbalik. Memberi jawaban kalau dirinya paham dengan perkataan Navia.

Rei(na) & Rei(no) [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang