52 | Tangisan Di Ruang Tamu

126 16 18
                                    

Selamat malam^^ Pada kangen ga sih?
Huhu, kangen kalian. Maaf, ya, lama banget ga update. Sibuk juga nulisnya lagi ga semangat:" tapi cerita ini pasti aku selesain kok, tenang aja. Asal kalian yang sabar nunggunya^^

52. Tangisan Di Ruang Tamu

"Na, lo suka gaya rambut gue yang gimana?

"Baju, baju model gimana? Kemeja hitam sama lengan digulung sampai siku suka nggak?

"Kalo parfum? Suka nggak aroma yang ini?"

Reina menepis cukup kencang tangan Reino yang hendak menyodorkan parfum di depan mukanya. Kegiatan merapihkan kasur di pagi jadi terganggu. "Duh, lo ngapain, sih?" Pertanyaan keluar dengan sinis. "Emang lo mau apa?"

"Kencan sama lo."

Reina tertawa sinis. Memandang yang berkata barusan dengan enteng. "Emang lo pikir gue mau?" Selimut dilipat. Mengesah melihat ada bulatan basah juga bau. Reino suka sekali menandai kasurnya dengan iler banyak begini.

"Ih, kita sepakat untuk saling berjuang satu sama lain, 'kan? Jadi, izinin gue minjam lo sehari aja buat diajak kencan."

Reina selesai dengan pekerjaannya. Menatap bosan lawan bicara, sejujurnya malas untuk melirik sebentar saja. "Mata lo ada beleknya." Yang mana langsung membuat si mirip tiang mengucek mata. "Sebelum ngajakin gue kencan, lo itu harus ngaca." Tubuh mendekat, menyelusupkan kepala ke kaos longgar Reino. Yang tinggi dibuat amat terkejut akan hal ini, tapi diam tetap bahkan sampai Reina keluar dan menatapnya meledek. "Gue nggak suka cowok yang perutnya buncit."

Reino rasanya baru saja mendapatkan pelecehan dengan sang pelaku yang teramat santai. Pergi keluar kamar sambil tertawa meledeknya. Tangan sampai menutupi badan sendiri dengan sorot mata menandakan shock.

"Buncit?" Pertanyaan keluar sendiri setelah lumayan lama dirinya termenung akan tindakan Reina. Melirik perut dengan tonjolan, pantas sekali memang dipanggil cowok pemilik perut buncit. Namun, Reino kini kenapa jadi kesal? Baiklah, kalau Reina tidak suka cowok dengan perut buncit, dirinya akan menggantikan perut mirip donat ini dengan roti sobek. Awas saja, akan dia buat si mungil itu tergila-gila.

***

Lagi, pemandangan ini kembali terpampang di depan mata. Dua anak yang barusan pulang sekolah sampai diam di tempat, di ambang pintu melihat kilatan marah dari mata masing-masing kedua mamanya yang sedang saling tatap. Setelah sikap saling dingin tersebut sempat hilang dari pandangan, kini kembali lagi. Dan alasannya masih belum diketahui karena setiap kali anak-anaknya bertanya, keduanya cepat mengalihkan pembicaraan.

"Assalamu'alaikum, kita pulang." Reina bicara dengan sedikit takut. Kakinya berjalan memimpin seusai melepas sepatu.

Kontak mata marah itu berhenti. Menengok ke pintu, menemukan dua anak yang sekarang sudah menjadi kelas dua belas. Mama Nita bangkit dari sofa, sikap dinginnya bahkan ada bagi Reina dan Reino juga. "Mama nggak masak. Kalian beli makan aja, uangnya masih ada, 'kan?" Dirinya masuk ke kamar bahkan sebelum dua anak yang ditanya menjawab. Mama Ira menyusul pergi ke kamarnya sendiri di rumah sebelah.

Entah apa yang terjadi sampai kedua mamanya enggan memasak. Rumah jadi lebih berantakan, sama seperti saat kedua mamanya pulang dari luar kota dan nampak sedang bertengkar. Itu awal mula keduanya saling diam. Tidak tahu apa yang terjadi selama pergi keluar kota.

Kedua mamanya itu memang sehari-hari kadang sering bertengkar. Namun, bertengkar yang sampai membuat isi rumah terasa hampa itu jarang sekali. Pertama kali pernah saat Mama Ira marah karena mendengar ibunya dibicarakan oleh Mama Nita kepada Papa Ardan. Mama Nita sebenarnya tak ada maksud. Cuma kelewat kesal karena Nenek Minah itu terlalu cerewet. Saat ibu dari sahabatnya itu menginap, rumah terasa jadi miliknya sendiri. Seenaknya mengatur bahkan untuk hal yang mustahil. Mendapatkan rujak di jam dua dini pagi. Apakah tidak wajar baginya marah?

Rei(na) & Rei(no) [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang