56. Reina Ikhlaskan Reino
"Na, pulang sekolah mau nonton nggak? Berdua."
Datar sekali wajah itu, Reino melihatnya ketika Reina yang sedang sibuk memasang dasi di depan cermin menoleh sekilas padanya. "Nggak."
"Kenapa? Ayo, please. Gue yang bayar----"
"Gue mau pergi sama Rafli."
Secepat itu mulutnya terkatup, gerak matanya juga berhenti bersamaan dengan pandangan terfokus pada Reina yang bahkan sama sekali tidak terlihat peduli padanya. Cuma fokus pada wajah sendiri di depan cermin.
"Lo bilang lo nggak mau kencan!" Suaranya menaik tiba-tiba karena kesal, "Rafli lagi, Rafli lagi! Rafli terus!"
Bentakan di pagi hari buat mood Reina jatuh cepat. Kepala ditolehkan untuk tatap manusia yang tiba-tiba menggunakan suara tinggi. "Lo apaan, sih, pagi-pagi gini udah ngebentak-bentak?!" Terkejut juga jadi alasan kenapa Reina jadi kesal. Ditambah lihat ekspresi Reino, buat rasa kesal menambah. Tatapan cowok itu semacam menudingnya melakukan hal yang salah dan sekarang dirinya sedang kena omel.
"Sampai gue denger lo teleponan sama dia nanti malam, gue banting hp lo!"
Reina tercengang mendengarnya. Wajah tunjukkan ekspresi tidak habis pikir, "No, lo waras? Lo punya urusan apa sampai berani-beraninya ngancem banting hp gue?!"
"Gue nggak bisa tidur, Nana! Suara dia berisik!"
"Terus? Punya hak apa lo larang-larang gue mau teleponan sama siapa aja? Hello, ini kamar gue, ya, kalo lo lupa!"
"Kenapa lo nggak bisa ngerti, Na?"
"Ngerti? Ngerti untuk apa?"
Wajah Reino masih merah hasil dari amarahnya pagi-pagi begini. Sesak dadanya buat ingin lontarkan kalimat yang mewakili isi hati, tetapi rasanya terlalu sulit. Kebingungan dari wajahnya dibalas tatapan tidak suka dari Reina.
"Kalo lo pada lupa, ini masih pagi. Masih terlalu awal buat berantem." Suara Arabella terlebih dahulu menginterupsi perhatian dua orang yang ada di kamar. Anak kuliahan itu sudah siap dengan tas di gendongan, ceritanya tadi malam bilang ke Reina ada kelas pagi.
Reina mengambil tas untuk setelahnya tatap sengit Reino. Berjalan mengikuti Arabella yang membiarkan pintu tetap terbuka. "Bella, gue berangkat bareng lo, ya!"
Reina dan kedua kakak ceweknya sudah belajar sedikit-sedikit yang namanya akrab dengan saudara. Ributnya sudah jarang, kalaupun terjadi pasti akan cepat berbaikan. Keempat orang tua sampai dibuat bingung dengan apa yang pernah terjadi sampai anak-anaknya yang rajin ribut hampir tiap hari menjadi kelihatan seperti saudara yang akrab akhir-akhir ini.
Kalau hubungan Reina sudah mulai berubah menjadi baik bersama dua kakak perempuannya, maka hubungan Reina dengan Reino lah yang berubah menjadi buruk. Reino frustasi sebab akhir-akhir ini bertengkar bersama Reina bisa melebihi lima kali dalam sehari. Lebih sering jika alasannya Reina sudah sebut-sebut nama Rafli yang katanya pacarnya. Reino menjadi sensitif karena itu. Pasalnya Si Rafli itu seperti menjadikan Reina sebagai hak milik. Seperti otak cewek pendek itu dicuci untuk terus hanya memikirkan Rafli. Reino kehilangan waktu bersama Reina walaupun mereka bahkan satu kamar.
***
Kalau ada yang bertanya Reina bahagia atau tidak, jawabannya tidak. Tidak ada yang salah, cowok di depan sebenarnya lumayan asik walaupun tidak masuk ke kriteria pacar idaman. Hanya saja, perasaan Reina tidak ada berubahnya sekalipun mendengar godaan yang biasanya akan menjerit baper.
"Pulang sekolah mau pergi jalan-jalan dulu?"
Sebetulnya sudah terlalu bosan Reina berpura-pura larut dalam obrolan sampai senyum-senyum seperti orang paling bahagia di dunia. Hampir menyerah jika saja niat buat Reino panas tidak kuat. Reina senang melihat bagaimana Reino memasang wajah panas di bangku yang ditempati cowok itu bersama ketiga sahabat lainnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rei(na) & Rei(no) [END]
Teen Fiction[FOLLOW SEBELUM BACA] [TIDAK PEDULI SEJELEK APA KARYA SAYA, SAYA TIDAK MENGIZINKAN PLAGIAT DALAM BENTUK APAPUN] Hanya keseharian dari Reina dan Reino. Anak yang sengaja dibuat di malam yang sama. Mereka bukan keluarga, apa lagi adik kakak. Akarnya a...