35. Rencana Liburan
Beberapa hari terakhir perasaan Alby tak tenang. Sering diliputi rasa cemas. Selain karena beberapa hari lagi Ujian Nasional, dia cemas karena memikirkan bagaimana nasib perasaannya untuk Zahra. Sebentar lagi mereka lulus, dan artinya mereka akan berpisah. Ingat betul ketika cewek itu bercerita kepadanya akan kuliah keluar kota.
Pensil di tangan dia tepuk-tepukkan ke buku di atas meja belajar. Matanya sesekali akan melirik ke ponsel yang letaknya tak jauh dari tangan.
"Bahkan buat nyimpan nomornya aja gue nggak berani."
Gumaman itu keluar dengan sendirinya. Matanya menyorot benda segiempat dengan sendu. Memikirkan bagaimana sudah dekatnya dirinya dengan sang pujaan semenjak kejadian membantu cewek itu mengantarkan buku ke ruang guru dia merasa sayang. Sayang kalau harus kehilangan momen-momen yang walaupun pendek namun sangat berharga.
Hari itu, Alby baru selesai pergi ke perpustakaan untuk mengembalikan buku. Berpapasan dengan Zahra yang nampak kesulitan membawa buku yang hampir muncung menutupi mata indahnya. Didekatinya cewek itu untuk ditawari bantuan.
"Perlu bantuan? Mau ke mana?"
Alby senang karena dirinya hari itu punya keberanian untuk mengajak Zahra mengobrol. Membuat mereka sedikit menjadi dekat. Sesekali akan mengobrol bersama membahas pelajaran, atau pr dari tempat les ketika Zahra lupa halaman bukunya.
"Apa gue bakalan jadi pengecut selamanya yang nggak bakal berani ngungkapin perasaan gue?"
Tubuh Alby rasanya terbang ketika seseorang tiba-tiba membuka pintu sehabis dirinya mengucap kalimat tadi. Wajah paniknya terpampang jelas. Memandang Adrian takut-takut, berharap cowok itu tidak mendengar apa yang barusan dikatakannya.
"A-apa?"
"Siap belum? Katanya mau ke perpustakaan?"
Alby mengangguk seperti robot. Menelan ludah sesudah teman sebayanya itu menutup pintu. Menepuk-nepuk mulut merasa bodoh. Kemudian langsung bersiap untuk pergi ke perpustakaan terdekat di hari Sabtu ini.
***
Saat kedua kakaknya sibuk belajar, di sini lah kedua adik yang tak suka belajar berada. Di kafe biasanya lengkap dengan ketiga sahabatnya. Ngumpul untuk memutuskan tempat yang akan dituju ketika kelas dua belas Ujian Nasional.
"Jadi mau ke mana nanti?"
"Sebentar-sebentar, jangan bahas liburan dulu, ya. Gue pusing mikirin nasib." Reina bicara kepada Diandra dengan wajah frustasinya.
"Gue bilang jangan dipikirin, lo cuma perlu nolak kalo nggak mau. Jangan dijadiin beban pikiran," ujar Reino.
"Gimana gue nggak kepikiran kalo Pak Aman ngancem bakalan nggak ngasih gue nilai pelajaran olahraga? Gue nggak mau ngulang kelas sebelas. Walaupun buat kebanyakan anak kelas sebelas itu masa-masa paling enak daripada kelas sepuluh dan dua belas, gue nggak mau." Reina menghela napas setelah mencurahkan isi hati. "Gue nggak akan pernah mau lagi yang namanya ikut study tour."
Raja langsung tertawa mendengarnya. Otaknya merespon lebih cepat daripada ketiga sahabatnya yang masih memasang wajah datar.
"Kenapa?" Diandra bertanya dengan polos. Menengok kanan kiri meminta penjelasan kepada para sahabatnya walaupun nampaknya yang paham hanyalah Raja.
"Ah!" Navia bersuara agak keras. Langsung mengatup mulut berusaha menahan tawa walaupun tetap lepas. "Gara-gara itu, ya, Na?"
"Kenapa, sih?" Reino bertanya, setelahnya meminum boba yang dipegangnya dengan tangan. Belum lama, muncrat kala ingat apa alasan Reina tak mau ikut study tour lagi. Segera mengambil tisu untuk mengelap meja yang tercemar karena dirinya. "Gara-gara orang gila yang tiba-tiba nunjukkin punyanya ke lo?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Rei(na) & Rei(no) [END]
Fiksi Remaja[FOLLOW SEBELUM BACA] [TIDAK PEDULI SEJELEK APA KARYA SAYA, SAYA TIDAK MENGIZINKAN PLAGIAT DALAM BENTUK APAPUN] Hanya keseharian dari Reina dan Reino. Anak yang sengaja dibuat di malam yang sama. Mereka bukan keluarga, apa lagi adik kakak. Akarnya a...