31 | Raja Sialan

188 43 12
                                    

31. Raja Sialan

Navia harusnya menyerah lebih awal. Tidak melanjutkan niatnya untuk mendapatkan hadiah fantastis dari Raja semenjak Reina memberi usul untuk mencium Raja agar cewek-cewek genit itu berhenti mengejar-ngejar. Salahkan dia karena menurut. Tidak sih, itu hanya refleks saja karena merasa terperintah dan tak bisa menolak. Tapi tetap saja, dirinya melakukannya. Melakukan hal gila itu. Dan berakhir memilih menenggelamkan semua tubuh ke dalam selimut karena merasa malu disertai jantung yang sedari tadi tidak mau tenang.
---
Pikirnya, setelah kemarin ponsel Raja berhenti berdering setelah Reina mengancam pelaku-pelaku telepon itu, dirinya sudah selesai untuk menjabat sebagai pacar Raja. Pacar pura-pura lebih tepatnya. Namun, Navia salah besar. Saat di mana dirinya sedang santai berjalan sendirian keluar dari gerbang sekolah, tangannya ditarik. Bahu dirangkul erat, sedikit menimbulkan rasa sakit.

"Kontrak kita belum selesai. Harusnya lo nungguin gue."

Navia memandang Raja dengan tatapan tidak suka kala sahabatnya itu bicara pelan namun ngotot. Tidak mengerti kenapa cowok itu begini. "Lo apa-apaan sih---"

"Cium gue!"

Mata Navia melotot setelahnya. Kaget dan kesal mendengar cowok di sampingnya bicara hal seperti ini cukup keras di mana para murid berkeliaran untuk bersiap pulang ke rumah masing-masing. Lagian untuk apa mencium Raja? Bukannya kontraknya sudah selesai semenjak Raja memberitahunya tadi malam?

Navia bingung berada di kondisi sekarang. Terkejut melihat bagaimana cewek-cewek agresif itu sudah mendekati keduanya sambil memasang wajah marah tidak seperti biasanya, yang kali ini nampaknya benar-benar marah entah kenapa. Ditambah Raja yang terus menyuruhnya melakukan hal gila itu. Demi Tuhan, Navia tak punya rasa 'mau' sedikitpun untuk melakukan ini. Kejadian mencium pipi Raja hanyalah refleks sebab merasa tak punya cara lain. Mungkin ada untungnya karena dari tampang cewek-cewek itu, mereka cepat sadar diri melihat apa yang ditangkap bola mata. Kakinya tak lagi bergerak untuk mendekati keduanya yang kemungkinan kalau tidak berhenti akan berniat menjambak rambut Navia sampai rontok.
---
Navia hampir gila memikirkannya. Tidak bisa tidur di jam yang sudah menunjukkan angka dua belas malam karena kejadian tersebut sungguh membuat kepalanya pusing. Menyesal menuruti keinginan Raja. Apa lagi mengingat tampang Raja yang waktu itu tak terlihat shock sepertinya yang langsung kelihatan seperti orang linglung.

"Raja sialan."

***

---
"Mau pesan apa?"

Reina mengamati daftar menu restoran yang disodorkan Raka ke depannya. Memilih menu walaupun belum lama tadi dirinya sudah sarapan. Ayolah dia tidak mau menolak, takut dikira tidak menghargai. Ya walaupun sejujurnya dia tidak keberatan kalau harus menghabiskan lima menu lagi.

"Aku bisa makan apa aja sih, Kak. Jadi terserah Kakak aja."

"Mau pesan masing-masing satu dari menu di sini?"

Reina tentunya langsung menggeleng karena kaget melihat Raka bicara seperti tadi tanpa terlihat ragu sedikitpun. "Ah, jangan, Kak. Bukan kayak gitu maksud aku."

Raka tersenyum melihat tingkah menggemaskan Reina. Membuat yang ditatap juga menatapnya sambil tersenyum malu-malu.

"Maksudnya pesan apa aja. Aku ngikut Kakak aja."

Raka mengangguk diiringi senyuman manisnya. Kemudian mengambil daftar menu dan mulai memilih. "Hm... apa, ya?" Kemudian netranya teralih pada Reina yang duduk di depannya. "Spaghetti Bolognese mau?"

Reina mengangguk malu. "Boleh."

"Oke. Minumnya mau apa?"

"Air putih dingin aja."

Rei(na) & Rei(no) [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang