46. Perasaan yang Tidak Sengaja Terungkap
"Lo nggak bakal nyerah secepat ini 'kan, No?"
Reino berbalik kala suara Navia menyapa pendengaran. Belum membalas untuk beberapa saat. Memandang sepatu hitam yang menginjak tanah depan rumah Raja. Berniat mencari tempat sepi yang damai untuk menjernihkan pikiran daripada di sana jika akhir-akhirnya akan berperang kata dengan Reina. Kali ini walaupun sendirian rasanya tidak menakutkan karena pikirannya tidak terarah pada hal-hal seperti itu. Fokus memikirkan Reina.
"Tolong jangan nyerah, No. Perasaan lo itu penting. Jangan kalah sama ego."
Reino menengok ke samping. Menatap Navia tepat di mata. Tidak harus terlalu menunduk mengingat cewek itu memiliki tubuh tinggi. "Nggak, Vi. Gue sayang Nana."
Senyum lega Navia terbit. Dirinya yang tidak terima jika Reino menyerah. Menjadi penumpang kapal yang tadinya tidak jelas tujuannya sekarang sudah menemukan tujuan membuat dirinya tidak bisa turun begitu saja. Harus tetap berada di kapal dan melanjutkan perjalanannya.
"Gue tahu lo bisa, No. Pasti bisa."
Senyum dibalas senyum. Reino melepas kontak lebih dulu dengan memandang ke depan. Pagar tinggi yang menjulang yang jaraknya masih jauh dari tempat kaki menapak. Di luar pagar ada jalan raya yang dilalui banyak kendaraan. Mungkin itu juga yang membuat dirinya tidak takut.
***
Sudah pukul sepuluh malam. Waktu terasa begitu cepat untuk Reina yang sudah menguap berulangkali. Ingin masuk ke tenda saat dirasa udara juga semakin dingin. Menembus tulang membuat tubuh sedikit mengigil. Tapi menerima walaupun sempat mengomel ketika Raja menyuruhnya untuk tidak tidur secepat itu. Katanya daripada pergi tidur dan kehilangan momen-momen bersama, mending ikut bermain game.
"Main apa, sih? Gue ngantuk sumpah. Gue nggak tidur siang soalnya."
"Dikuatin kenapa, Na. Masih jam sepuluh. Biasanya juga tidur kalau camping udah masuk dini hari."
Reina tidak membalas prostesan Raja. Memutar bola mata sambil memasukkan lebih dalam tangan ke saku jaket. Tak disangka udara sedingin ini padahal tidak ada gunung di sekitar sini.
Permainan yang akan dimainkan truth or dare. Itu sesuai persetujuan. Walaupun Reina dan Reino sendiri mau tidak mau menyetujui karena merasa permainan ini akan membawa suatu hal yang tidak baik.
"Oke, dimulai, ya." Botol air mineral yang berisi setengah air di tangan Diandra diputar. Reina dan Reino yang duduk berdampingan sama-sama merasa tidak nyaman. Takut sekali botolnya akan mengarah ke diri masing-masing.
"Ah, Dimas!" Diandra bersuara cukup keras. Senyum lebarnya terarah pada sang cinta. Saling tatap sebelum Dimas membalas kata, "Truth."
"Kamu bener suka aku sejak pertama kali kita ketemu?" Wajah Diandra dihiasi semburat merah. Malu dengan pertanyaan sendiri. Tiba-tiba jadi teringat bagaimana Dimas menyatakan pernyataan hari itu. Senyum tambah lebar sedikit saat melihat anggukan dari sang pacar.
"Iya. Hari di mana kamu mulai les di tempat yang sama kayak aku, aku nggak bisa ngelepasin pandangan. Aku nggak lagi ngegombal loh, ini serius. Aura kamu kuat banget buat narik aku."
Diandra langsung memukul lengan kanan Dimas pelan. Menatap wajah para sahabatnya yang sedang kompak menatapnya dengan tatapan meledek. "Ih, kamu! Jangan dijelasin juga dong! Malu."
Permainan berlanjut. Botol diputar lagi. Reina menghela napas pelan sekali tahu botol berhenti ke arah Navia. Wajah sahabat cewek jangkungnya itu sedikit tegang. Membuat penasaran kalau cewek itu punya rahasia apa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rei(na) & Rei(no) [END]
Fiksi Remaja[FOLLOW SEBELUM BACA] [TIDAK PEDULI SEJELEK APA KARYA SAYA, SAYA TIDAK MENGIZINKAN PLAGIAT DALAM BENTUK APAPUN] Hanya keseharian dari Reina dan Reino. Anak yang sengaja dibuat di malam yang sama. Mereka bukan keluarga, apa lagi adik kakak. Akarnya a...