Sepatu dengan gambar sepasang kekasih sedang menari di tengah hujan digenggam kedua tangan. Kaki panjangnya turuni tangga dengan buru-buru. Kemeja putih hitam itu sedikit kusut sebab Sang pemilik tidak punya waktu untuk menyetrika.
"Nggak sarapan dulu?"
Lalu, suara itu menginterupsi. Langkahnya yang buru-buru terhenti dan tatap yang barusan bertanya. Kepalanya menggeleng sambil berikan senyuman. "Nggak. Buru-buru. Assalamualaikum." Kemudian dapat didengar jika suara omelan mulai dikeluarkan karena dirinya tidak bisa bangun pagi. Hal itu tidak bisa buat dirinya harus berhenti lagi sebab tidak punya waktu banyak.
Teriknya matahari membuat mata refleks menutup saat kaki baru saja keluar dari pintu. Sengatan ini cukup berlebihan di jam yang masih tunjukkan pukul delapan pagi. Dan lagi-lagi, melihat jam yang sudah tunjukkan tanda dirinya akan terlambat, kaki panjang itu mulai berlari lagi. Berdiri di halte untuk tunggu bus datang.
Bus masih sepi, dan ini cukup aneh. Padahal semenjak empat bulan lalu dirinya terus naik bus, pagi hari akan selalu ramai. Entah karena orang-orang hendak ke pasar, pergi kerja, ataupun pergi sekolah.
"Harus hujan yang gede, sih. Panas banget ini." Dirinya hanya bicara sendiri. Kalau nanti sore atau malam tidak hujan, dirinya sungguh akan kesal. "Tapi biasanya dia bakal langsung ngomel kalo nggak selalu pagi panas banget berarti sore bakalan hujan." Tatapannya secara alamiah terarah pada bangku di samping. Tempat di mana orang itu biasanya akan duduk dan berbagi momen indah bersamanya.
Kakinya cepat bergerak turun dari mobil. Sejujurnya daripada takut terlambat, dirinya lebih takut kalau kenangan-kenangan itu akan muncul dan buat dirinya tidak mau turun.
Ini sudah hampir sebulan kakinya menginjak tempat ini. Tempat dengan nama "Kelas Fotografi" menjadi tempat rutin yang didatangi ketika hari Minggu tiba. Dan napasnya dihela dengan lega saat seseorang sedang duduk di bangku lorong.
Kepala yang sedang tertunduk dan mata yang fokus pada ponsel di tangan terangkat ketika dengar langkah kaki seseorang. Senyumnya lebar tahu orang yang ditunggu tiba juga. "Hai. Baru aja mau aku telepon."
Reino dekati cewek yang sekarang berdiri itu. Langkahnya kompak beriringan menuju kelas. "Kamu nungguin aku?"
"Kayak apa yang kamu lihat."
Lalu Reino tidak tahan untuk tidak mengacak rambut cewek di samping. Tawa malah muncul dari belah bibir pink itu. "Udah aku bilang, duluan aja. Tapi makasih, gara-gara kamu aku tahu kalo aku nggak telat."
"Makasih doang?"
"Mau apa dong?" Reino bertanya serius sebelum senyum manisnya muncul. "Iya-iya, Angel, pulang nanti aku beliin ice cream."
Lalu sorakan senang itu buat Reino ikut senang. "Yeay, makasih, Rei."
Tempat les sudah bukan lagi tempat yang harus didatanginya saat Sabtu dan Minggu. Dengan izin orang tua, Reino bisa lakukan apa yang sedikitnya dia sukai. Mungkin jika tidak diberitahu, Reino takkan pernah tahu jika dirinya suka mengambil gambar. Dan memikirkan ini buat Reino teringat lagi pada orang itu. Kepalanya cepat menggeleng untuk hilangkan pikiran tersebut.
***
Reino baru tahu rasanya bagaimana ketika diri melakukan sesuatu yang disuka. Tidak ada tekanan, dan selama menjalaninya Reino selalu tersenyum. Ini sebuah perasaan yang tidak pernah dirasakannya.
Reino beri tahu orang tua kalau dirinya sekarang sudah punya sesuatu untuk dikerjakan di masa depan. Belajar bukan kemampuannya, dan Reino cukup terkejut di fakta bahwa orang tua tidak marah bahkan sampai menyuruhnya mengambil kelas fotografi jika dirinya benar-benar suka mengambil gambar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rei(na) & Rei(no) [END]
Teen Fiction[FOLLOW SEBELUM BACA] [TIDAK PEDULI SEJELEK APA KARYA SAYA, SAYA TIDAK MENGIZINKAN PLAGIAT DALAM BENTUK APAPUN] Hanya keseharian dari Reina dan Reino. Anak yang sengaja dibuat di malam yang sama. Mereka bukan keluarga, apa lagi adik kakak. Akarnya a...