18 | Itu Dia

214 46 4
                                    

18. Itu Dia

Berjalan dengan lemasnya menyusuri jalanan. Tatapan matanya kosong menatap tanah. Rasanya, air matanya akan tumpah sekarang. Tetapi entah kenapa, itu tidak keluar juga. Sungguh, Reina ingin air matanya keluar dan mengalir deras. Tak apa. Dia ingin merasa lega.

Sebuah motor menghampirinya, tepat di sebelahnya. Pemilik motor itu langsung saja menarik lengannya dan memakaikan helm ke kepalanya.

"Lo ke mana aja, sih? Ayo buruan naik! Mereka udah nunggu. Filmnya mau mulai!"

Reina menurut saja. Menurut ketika kepalanya dipasangi helm dan tubuhnya ditarik agar naik ke boncengan. Dia tak punya tenaga untuk melawan. Walaupun kenyataannya kini dia tambah merasa frustasi karena di keadaan yang seperti ini malah diajak untuk nonton.

***

Entah apa rasanya, hanya Reina sendiri yang bisa merasakan bagaimana rasanya ketika tangannya ditarik asal-asalan yang menyebabkan tubuhnya menabrak tubuh orang lain. Benar, itu semua ulah Reino. Cowok itu dengan semangatnya menarik tangan mungil Reina, menerobos banyaknya orang di mall supaya tidak telat menonton filmnya.

"Itu-itu!" Navia menuding ke arah dua sahabatnya. Membuat pandangan Diandra dan Raja pun teralih pada mereka.

"Ah, akhirnya," kata Raja sambil berdiri, disusul oleh kedua sahabatnya.

"Telat?"

Raja menggelengi pertanyaan Reino, "Belum, untungnya. Lagian lama banget, sih!"

"Ya, maaf. Nyari Nana nggak gampang."

"Udah-udah. Ayo buruan!" Diandra menengahi keributan antar kedua sahabat cowoknya. Selanjutnya, mereka masuk ke dalam. Dan Reina masih tetap pada posisinya, ditarik-tarik oleh Reino.

"Nih, pegang!" Navia memberikan satu popcorn ke tangan Reina. Membagikan satu lagi kepada Raja.

"Makasih," kata Raja.

"Udah mau mulai, udah mau mulai."

"Iya, tahu. Diam kenapa. Kayak nggak pernah ke bioskop aja lo," cibir Navia. Menatap Reino malas.

Semua orang kini fokus ke depan. Menatap layar, bersiap menikmati film komedi yang paling laris bulan ini.

"Ini sebagai kado ulang tahun lo dari gue. Lo bilang mau nonton film ini, 'kan?" Reino mengajak Reina berbicara dengan suara yang sangat pelan. "Nanti gantian lo beliin gue sepatu olahraga yang waktu itu gue kirim fotonya, ya," lanjut Reino super bersemangat. Sedangkan yang diajak bicara hanya diam layaknya patung. Matanya sih menatap ke depan, sama seperti yang lain. Namun, tidak dengan pikirannya.

Waktu terus berjalan. Sudah memasuki menit ke sepuluh setelah film diputar. Dan itu juga membuat orang-orang di sana tertawa karena adegan yang lucu.

"Lucu banget. Aduh, perut gue sakit." Reino mengelus perutnya. Kini beralih memandang Reina dengan popcorn yang masih utuh di tangannya. Dia mencomotnya. "Ah, nggak nyesel deh nonton film ini. Baru menit-menit awal aja udah ngakak. Ya, Na?" ucapnya mengajak Reina bicara. Tetapi tidak digubris oleh Reina.

Lagi dan lagi, semua orang di dalam ruangan sepertinya tertawa puas. Kecuali Reina yang hanya diam. Bibir bawahnya dia gigit. Menahan tangis yang rasanya ingin meledak.

Dan saat semuanya tertawa lagi, kini Reina akhirnya bereaksi. Bukan, bukan ikut tertawa. Melainkan cewek itu menangis kencang. Kencang sekali. Dia tak tahan. Bisa-bisanya saat dia sedang sedih yang lain malah tertawa.

Dan, ya, perilaku Reina mengundang perhatian orang-orang. Beberapanya langsung pada protes karena cewek itu mengganggu ketenangan. Para sahabatnya juga ikut merasa aneh karena bukannya tertawa, cewek itu malah menangis. Tetapi....

Rei(na) & Rei(no) [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang