Sudah satu minggu berlalu sejak kematian Azel. Masih terasa membekas sakitnya juga sesak yang terus melanda Selma. Sudah seminggu juga, dia tidak masuk sekolah dan memutus semua komunikasinya dengan siapapun. Terkecuali dengan Kanin yang memang selalu berkunjung ke rumahnya.
Selma hanya butuh waktu untuk terbiasa dengan semuanya. Ditinggal sang kakak bukanlah perihal mudah, jadi atas dukungan mama dan papanya, berikut toleransi yang diberikan dari sekolah, Selma diizinkan absen satu minggu. Meski memang tugas-tugas tetap diberikan lewat pembelajaran daring.
Dan tepat hari ini, Senin pertama di bulan September, dia mulai masuk sekolah lagi. Selain karena tenggat toleransi yang diberikan sudah habis, Selma merasa bahwa waktu bertapanya sudah usai. Waktunya menjalani kehidupan, meski sebenarnya Selma sudah enggan.
Setelah turun dari mobil, khusus hari ini dia diantar Vian, Selma segera melangkah mantap menuju kelasnya. Beruntung, tidak didapatinya bisik-bisik atau pun tatapan kasihan para murid yang dijumpai. Selma bersyukur akan hal itu. Dia tidak suka dikasihani dan juga menjadi pusat perhatian.
"Ya ampun, Selma!" Sekejap saja, tubuh Selma oleng karena tubrukan badan seorang gadis. Perempuan itu tersenyum tipis seraya menepuk-nepuk bahu Kanin.
"Kok enggak bilang-bilang mau masuk?" Kanin melepas pelukannya seraya mencebik protes. Mereka bertemu di koridor, dan Kanin tidak bisa menutupi keterkejutannya saat melihat sosok Selma.
"Biar surprise?" Selma berujar tak yakin, yang mana hal itu membuat Kanin berdecak sebal. Namun, detik selanjutnya perempuan itu tersenyum haru. Tidak ada yang diinginkan sekarang selain melihat Selma bangkit dari keterpurukannya. Sudah saatnya sahabatnya itu menata hidup, tanpa dibayang-bayangi lagi kenangan bersama Azel. Meski kenangan adalah salah satu obat rindu, tetapi untuk saat ini, biarkan Selma bangkit meski tertatih.
"Ya udah, kita langsung ke kelas aja. Pasti anak-anak pada seneng lo udah masuk, mereka kangen soalnya."
Dan perjalanan mereka menuju kelas dipenuhi cerita-cerita dari Kanin. Selama seminggu tidak masuk sekolah, ternyata membuat Selma banyak ketinggalan informasi. Meski memang bukan hal penting, tetapi hal-hal seperti inilah yang sekarang dibutuhkan cewek itu.
Sudah bisa ditebak, sesampainya di kelas, Selma langsung diserbu para murid 11 IPS 1 yang sudah datang. Khusus cewek-cewek, bahkan memeluk perempuan itu. Sedangkan murid cowok hanya tersenyum menyambutnya.
Dalam hati, Selma terharu, tidak pernah menyangka sebelumnya bahwa teman sekelasnya seperhatian ini. Dia bahkan sempat menitikkan air mata meski buru-buru dihapus.
"Kita kangen banget sama lo, Sel." Itu suara Vivi, yang mana diikuti anggukan kepala dari beberapa murid.
"Seminggu enggak masuk gue sama Bintang enggak ada saingan tau. Anak-anak lain pada gak mau saingan kalo pelajarannya Geografi, apalagi kalo udah masuk sesi tanya jawab." Yuri—sang juara kelas—ikut menimpali. Ucapan itu sontak mendapat sorakan dari yang lain, yang mana hanya disambut cengiran lebar dari cewek berkacamata itu.
"Thanks, guys. Gue terharu banget lho," ujar Selma tulus. Dan mereka kembali berpelukan, saling melepas rindu yang sudah satu minggu tertahankan.
Kanin yang melihat pemandangan tersebut mencelos dalam hati. Kini, Selma sudah terlihat lebih berwarna setelah kemarin hanya dipenuhi hitam dan kelabu. Namun, sekarang Kanin mencemaskan sesuatu lagi.
Jika Selma sudah ada di sini, sudah berusaha menerima bahwa di hidupnya sudah tidak ada Azel, bisakah gadis itu kembali menerima bahwa masih ada seseorang yang mungkin tidak bisa kembali lagi ke hidupnya?
Kanin menghela napas lelah, dia bingung dan tidak tahu harus berbuat apa. Dia hanya tidak ingin membuat sahabatnya itu kembali terpuruk. Namun, cepat atau lambat, Selma pasti akan tahu kebenarannya. Mungkin nanti? Setelah dia menyadari, bahwa ada sesuatu yang hilang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Halcyon [Completed]
Teen FictionSelma Tabitha bukanlah murid terkenal di Star High. Gadis berambut sebahu itu hanyalah siswi biasa yang beruntung bisa terangkat menjadi ketua drawing club. Hidupnya tenang-tenang saja dan terkesan monoton. Sampai suatu hari Selma melakukan sebuah k...