"Jadi kalo kita berhasil menang di lomba ini, Drawing Club gak bakal dibubarin gitu?"
Selma mengangguk menanggapi pertanyaan Syifa barusan. Saat ini ia dan ketiga anggota Drawing Club dari kelas 11 sedang berkumpul, membahas nasib ekskul mereka sekarang.
Garel sedikit menghela napas mendengar syarat yang diajukan oleh Bu Kiana, pembina ekskul Drawing Club. "Yang jadi pertanyaan siapa yang bakal maju buat wakilin lomba ini?"
Selma, Syifa dan Alif saling berpandangan. Mereka tentu saja bingung siapa yang akan maju untuk mewakili ekskul mereka. Apalagi poster lomba ilustrasi yang ada di meja itu deadlinenya tinggal dua minggu lagi.
"Gimana kalo lo aja, Rel?" tanya Selma setelah keempatnya hening. Gadis itu sedikit frustasi setelah berbincang beberapa menit dengan Bu Kiana tadi. Pembina mereka itu juga tak bisa berbuat banyak untuk menyelamatkan Drawing Club. Bu Wendy selaku pemegang wewenang ingin pembuktian yang lebih besar agar ada alasan kenapa ekskul mereka harus dipertahankan.
"Deadlinenya tinggal dua minggu lagi, Sel, dan lo tau gue juga sibuk jadi guru seni rupa di tempat Om gue," kilah Garel sedikit mengerang. Cowok itu tidak bisa berbuat banyak, tanggungjawabnya masih banyak dan ia sedikit merasa bersalah tak bisa mengiyakan kemauan Selma.
"Lo juga tau, Sel, kemampuan gue masih terlalu amatiran buat ikut lomba ilustrasi itu." Syifa menambahkan, tercetak jelas raut wajah tak enak di sana. Selma pun hanya bisa memberikan senyum menenangkan.
"Gimana kalo lo aja, Sel? Gak ada yang bisa kita andelin di sini selain lo." Alif angkat suara, cowok pendiam itu menatap serius ke arah Selma.
"Nah, Alif bener! Lo aja deh, gambar-gambar lo, 'kan, udah bagus. Jadi gampanglah kalo cuman buat lomba ilustrasi dengan tema Cinta Lingkungan ini," ujar Syifa seraya tersenyum sumringah.
Selma terdiam sejenak, ketakutan itu kembali menyergap kepalanya. Ia masih ingat jelas bagaimana lomba pameran kemarin gagal dan tak bisa membawa piala untuk sekolah. Lukisan-lukisan yang diajukan adalah miliknya semua, dan itu sama sekali tak membantu. Selma insecure kalau lomba kali ini ia kembali tak bisa memenangkannya. Masalahnya, ekskul Drawing Club kali ini adalah taruhannya. Kalau mereka tidak memenangkan lomba itu, say good bye untuk Drawing Club.
"Gue ... ragu," ujar Selma jujur. Helaan napas berat keluar dari hidungnya.
"Sel, gue mohon banget sama lo, jangan sangkut pautin lomba ini sama kegagalan kemarin. Gambar-gambar lo bagus, cuman kemarin emang bukan rezekinya aja dan kendalanya cuman pada waktu." Garel berujar dengan nada menenangkan. Ucapan itu diangguki kepala oleh Alif juga Syifa.
"Deadlinenya masih ada dua minggu. Gue rasa cukup untuk nyelesaiin dengan tepat juga bagus," timpal Alif kalem.
"Jadi kalian percaya sama gue?" tanya Selma, terselip nada keraguan di sana.
"Gue percaya!" Syifa menyahut duluan.
"Gak ada yang bisa nyelamatin ekskul kita selain lo, Sel," sahut Garel.
Selma menatap satu persatu temannya dengan mata berkaca-kaca. Mereka semua menaruh harapan dengannya, dan Selma tak tega jika harus menolak. Maka, dengan melengkungkan pelangi terbalik di bibir, kepala gadis itu mengangguk mantap.
"Gue bakal ikut."
Dapat Selma lihat wajah-wajah lega di ketiga temannya, dan ia semakin bertekat untuk memenangkan lomba itu.
"Gue percaya sama lo, hubungin kita kalo lagi kesusahan dan butuh inspirasi." Alif tersenyum tipis ke arah Selma dan ditanggapi anggukan kepala dari gadis itu.
Selma menatap poster lomba ilustrasi di tangannya. Poster itu diberikan oleh Bu Wendy lewat Bu Kiana, jalan satu-satunya agar Drawing Club tidak dimusnahkan. Dengan anggukan mantap, Selma akan berusaha sekuat tenaga agar ekskul yang dipimpinnya ini tetap bertahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Halcyon [Completed]
Teen FictionSelma Tabitha bukanlah murid terkenal di Star High. Gadis berambut sebahu itu hanyalah siswi biasa yang beruntung bisa terangkat menjadi ketua drawing club. Hidupnya tenang-tenang saja dan terkesan monoton. Sampai suatu hari Selma melakukan sebuah k...