Selma keluar dari ruang rawat Azel dengan buru-buru. Bukan tanpa alasan, jam masuk di sekolahnya hampir dekat, dan ia masih di rumah sakit. Ia baru saja mengantarkan beberapa pakaian untuk Riana.
Meski hubungan keduanya mulai membaik, namun tetap saja terasa canggung, setidaknya itulah yang dirasakan Selma. Tapi ia tidak ingin ambil pusing, karena lagi-lagi ia sudah terbiasa.
"Pak, anterin Selma cepet!" teriak Selma pada Pak Nando ketika ia sudah berada di parkiran. Mengikuti perintah sang majikan, supir kisaran umur 50-an itu segera masuk ke mobil.
Selma menghela napas ketika melihat jam di pergelangannya. Lima belas menit lagi bel masuk berbunyi, dan ia hanya berharap bisa segera sampai.
Namun, seolah semesta tidak berpihak padanya hari ini, pintu gerbang sudah tertutup rapat ketika Selma sampai. Dalam hati gadis itu berdecak, ini adalah keterlamabatan pertamanya sejak sekolah di Star High.
"Silakan masuk, Neng. Langsung nyamperin anak OSIS yang bertugas hari ini, ya?" Pak Ghani yang bertugas hari ini membukakan pintu gerbang. Sedikit membuat Selma mengerutkan keningnya bingung. Karena setahunya, siswa yang terlambat baru boleh masuk ketika jam pertama selesai.
"Seriusan nih, Pak?" tanya Selma dengan nada tak percaya.
Pak Ghani mengangguk seraya tersenyum. "Khusus hari ini aja, Neng. Soalnya Bapak nda pernah liat Neng telat. Ini pertama kalinya, kan?"
"Iya, Pak."
"Anggep aja Bapak hari ini lagi baik. Tapi besok-besok jangan telat lagi."
Selma tersenyum dan mengangguk. Mungkin hari ini semesta memang tidak berpihak padanya, namun memberinya sedikit kemudahan.
Setelah masuk ke area sekolah, Selma langsung menghampiri dua anak OSIS yang terlihat berdiri di dekat pos satpam.
"Lho, Selma?" Arial dengan almamater OSIS-nya itu tampak mengernyit bingung. Hari ini ia yang bertugas sebagai penegak disiplin, bersama Reindra.
Meski terkejut, namun Selma tidak menunjukkan itu. Ia hanya tersenyum tipis. Masih agak kesal mengingat pemandangan kemarin.
"Kok bisa telat?" tanya Arial.
"Macet." Jawaban yang klise dan diucapkan dengan nada datar. Membuat kening Arial mengernyitkan keningnya bingung.
"Dan kenapa lo bisa lolos dari Pak Ghani? Ini menyalahi aturan lho," timpal Reindra.
Selma menghela napas lelah. "Tanya aja sama Pak Ghani."
Kedua cowok itu terdiam, jelas tahu bahwa mood Selma sedang tidak baik. Arial menghembuskan napas sejenak, lantas mencatat sesuatu di buku neraka—sebutan para murid SHS karena buku itu adalah catatan-catatan dosa para pelanggar aturan.
"Selma Tabitha, 11 IPS 1, telat lima menit, alasan; macet." Sambil menulis Arial berujar. Setelah beberapa menit berkutat dengan aktivitas tersebut, ia kembali mengangkat pandangannya pada Selma. Terdiam beberapa detik, lalu menghela napas, lagi.
"Ikut gue."
Reindra yang bereaksi duluan. "Lho, mau kemana, Yal? Masih nugas ini."
"Udah lo diem aja di sini. Gue yakin masih ada yang telat nanti. Selma urusan gue."
Karena tidak ingin disemprot, Reindra hanya mengiakan saja. Sementara itu, Selma segera mengekor di belakang Arial. Meski sedikit penasaran akan dibawa kemana dirinya.
Setelah berjalan beberapa saat tanpa obrolan berarti, sampailah mereka di gedung olahraga lantai satu. Gedung yang terletak di samping perpustakaan itu memang hanya ramai di waktu-waktu tertentu saja. Jadi tidak heran jika tempat tersebut sepi. Hanya terdengar suara-suara murid yang mungkin sedang mengikuti pelajaran olahraga di lantai atas, dalam hal ini karate.
KAMU SEDANG MEMBACA
Halcyon [Completed]
Dla nastolatkówSelma Tabitha bukanlah murid terkenal di Star High. Gadis berambut sebahu itu hanyalah siswi biasa yang beruntung bisa terangkat menjadi ketua drawing club. Hidupnya tenang-tenang saja dan terkesan monoton. Sampai suatu hari Selma melakukan sebuah k...