[27] Perihal Impian

314 45 5
                                    

Selma menatap selang-selang di depannya dengan perasaan tak karuan. Benda-benda tersebut terlihat mengerikan di mata gadis itu. Namun, ada yang lebih membuatnya bergidik.

Azel.

Kakaknya itu sekarang tengah berbaring di brankar dengan wajah pucat. Selang-selang tadi terhubung ke tubuh gadis itu. Selma yang duduk di samping brankar Azel menghela napas untuk kesekian kali. Ini pertama kalinya ia menemani Azel mengikuti prosesi cuci darah.

Dan ... sungguh, Selma tidak pernah menyangka akan semenyeramkan ini kelihatannya. Belum lagi waktu yang dilalui amatlah lama. Sekitar tiga jam. Selma tidak bisa membayangkan semembosankan apa jika harus berbaring selama itu dan tidak ada yang menemani.

Mendadak Selma disergap rasa bersalah karena baru kali ini ia bisa menemani Azel. Itu pun karena hari ini ia tidak ada urusan.

"Bosen, ya?" tanya Selma memecah keheningan. Dokter Tio yang menangani Azel baru saja keluar dari ruangan.

"Enggak, 'kan, ada elo."

Ada nyeri menggelayut di hati Selma mendengar kalimat itu. Nyeri yang ... rasanya tak berkesudahan. Entah kenapa akhir-akhir ini harapan Selma untuk kesembuhan Azel cenderung pasrah. Bukan tanpa alasan, belakangan ini keadaan saudara kandungnya itu memang cukup memburuk.

Azel pernah pingsan di ruang teater karena kelelahan. Untung saja teman-teman se-ekskulnya waktu itu gesit membawanya ke UKS dan bisa ditangani dengan cepat. Sudah seminggu ini juga Selma sering memergoki Azel yang tengah muntah-muntah. Pernah juga mendengar rintihan Azel di tengah malam. Waktu Selma mengintip ke kamarnya, ia tak bisa tak menitikkan air mata ketika melihat kakaknya itu tengah memegangi bagian perutnya. Merintih kesakitan. Berusaha tak terdengar.

Dan sampai hari ini, keluarga mereka belum berhasil mendapatkan pendonor. Membuat semuanya terlihat sulit.

"Maafin gue, ya, Zel." Tenggorokan Selma tercekat ketika meluncurkan kalimat itu. Membuat Azel yang tengah berbaring menarik senyum samar. "Hei, lo gak perlu minta maaf. Lo gak salah apa-apa."

"Gue baru nemenin lo, padahal--"

"It's okay. Selama gue di sini ada suster Dian kok yang selalu nemenin. Beliau perawat kepercayaan Dokter Tio buat selalu jaga dan nemenin gue."

Ada perasaan lega menyelusup ke relung Selma, namun belum sepenuhnya. Karena, orang yang seharusnya menemani Azel berjuang dengan selang-selang medis ini adalah orang terdekatnya. Dalam artian, orangtua atau saudara kandung.

"Gue janji, gue usahain bakal selalu nemenin lo cuci darah."

"Enggak perlu, Selma. Ada atau pun enggaknya elo ... gue tetep gini-gini aja, 'kan?" Mata Azel mendadak memburam. "Gue ... mungkin, udah nggak ada harapan lagi."

"Enggak! Lo ngomong apa, sih, Azel?!" Selma menghardik. Tak habis pikir dengan kalimat Azel barusan.

Azel menggeleng pelan, bibirnya bergetar menahan tangis. "Lo tau, Sel, gue selalu iri sama lo."

Sampai di situ, Selma bisa merasakan tubuhnya menegang sejenak. Hei, apa yang harus membuat Azel iri darinya? Azel adalah paket komplit. Cantik, pintar, jenius, rajin, dan selalu membanggakan. Tidak seperti dirinya yang dari kecil memang tidak pernah benar-benar membuat mamanya bangga barang satu kali saja.

Jadi ... adakah alasan yang membuat Azel selalu iri dengannya?

"Lo bisa bebas ngelakuin apa pun yang lo pengen. Bisa jalan-jalan tanpa batasan dari mama. Bisa keluar kapan aja, bisa pergi kemana aja. Dan ... lo gak perlu ngerasain sakit dan ketakutan karena punya penyakit yang kapan aja bisa merenggut nyawa lo." Azel berujar dengan nada sedikit ngos-ngosan. Satu-persatu air mata lolos menuruni pipinya. Membuat Selma tak bisa tak ikut menangis. Apalagi mendengar kata per-kata yang dikeluarkan kakaknya.

Halcyon [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang