"Ada yang lagi seneng kayaknya."
Ujaran bernada sindiran itu mengalihkan atensi Selma yang tadinya fokus menatap bangunan dari jendela mobil. Ia menoleh ke arah Azel yang duduk di sampingnya lantas mengulas senyum cerah.
"Keliatan banget, ya?"
Azel sontak saja berdecih. Sedikit tak percaya kalau yang ada di dekatnya ini adalah adik kandungnya sendiri. "Dari waktu sarapan tadi sampai sini, lo senyum-senyum mulu, Sel. Keliatan bangetlah kalo lo lagi seneng."
Selma yang mendengarnya pun tak bisa menyembunyikan tawa kecilnya. Apa yang dikatakan Azel memang benar. Selma menyadari itu, dari tadi ia selalu mengumbar senyum cerah. Itu bukan tanpa alasan.
Pagi ini pun lain dari biasanya. Ya, hari ini Selma berangkat sekolah bersama Azel. Biasanya kalau ia ditawari oleh kakaknya itu pasti ia akan menolak. Namun, mulai sekarang Selma sepertinya tak bisa melakukan hal itu lagi. Ia ingin lebih dekat lagi dengan saudara kandungnya sendiri.
"Masih seneng soal lomba kemarin, ya?" tanya Azel. Pertanyaan yang sebenarnya tak perlu dia suarakan lagi.
"Hu'um. Gak nyangka aja kemarin gue bisa juara satu, padahal gue gak berekspektasi buat raih peringkat paling tinggi. Masuk tiga besar dan dapet piala aja sebenernya udah cukup buat pertahanin Drawing Club," jawab Selma panjang. Azel pun mengangguk-angguk mengerti. Perihal Drawing Club yang akan dibubarkan memang sudah diketahuinya. Bahkan mungkin berita itu sempat booming akhir-akhir ini di kalangan SHS.
Tapi sepertinya tak ada yang perlu dikhawatirkan lagi. Selma telah menyelamatkan ekskul Drawing Club, dan entah kenapa Azel ikut bangga akan itu.
"Kemampuan lo dalam menggambar emang gak ada duanya, Sel. Gue bangga banget sama lo," puji Azel dengan nada tulus.
"Gak usah terlalu muji-muji gitu, ah. Ntar gue jadi besar kepala lagi," ujar Selma diiringi kekehan ringan.
"Tapi beneran deh. Gue kemarin sempet khawatir sama lo pas berita Drawing Club lagi booming banget."
Selma menatap Azel dengan tatapan teduh. Ternyata kakaknya ini begitu perhatian dengannya, membuat rongga hati Selma menghangat karenanya.
"Gue kemarin baik-baik aja kok. Emang, sih, sempet stres gitu karena beberapa anggota pada keluar. Apalagi pas Kikan pindah sekolah. Itu awalnya Drawing Club jadi terancam dibubarin, karena kita sempet kalah telak di pameran."
"Tapi adek gue ini berhasil pertahanin ekskulnya. Itu paling penting," tukas Azel tersenyum sumringah.
"Gue merasa bertanggungjawab kalo soal itu."
Dan berlanjutlah obrolan-obrolan keduanya sampai mobil yang mereka tumpangi berhenti di depan gerbang Star High. Jam sudah menunjukkan pukul 6.15, sekolah sudah cukup ramai.
"Pak, nanti jemputnya agak sorean aja, ya. Saya ada ekskul," ujar Azel pada Pak Nando, supir keluarga yang sering mengantar-jemputnya sekolah. Azel memang diistimewakan karena ia tak boleh melakukan kegiatan yang terlalu menguras tenaga. Beda dengan Selma, ia dibebaskan untuk melakukan apa saja, asal masih dalam konteks kebaikan.
"Siap, Non!"
Setelahnya, Selma dan Azel segera keluar dari mobil dan berjalan beriringan memasuki area sekolah.
"Emang lo gak papa ikut ekskul gini? Dibolehin mama emang?" tanya Selma saat keduanya sudah berada di koridor kelas 10.
"Awalnya mama gak izinin, sih. Tapi gue mohon-mohon dan janji bakal jaga kesehatan."
"Ekskul Teater emang mau ngikutin lomba apa gimana? Perasaan mama udah bilang deh gak usah ikutan kumpul kalo emang gak ada hal yang penting." Jiwa cerewet Selma akhirnya keluar. Jujur saja, ia sedikit menyayangkan keputusan Azel yang tetap ingin mengikuti perkumpulan ekskul di saat kondisinya sedang tidak baik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Halcyon [Completed]
Teen FictionSelma Tabitha bukanlah murid terkenal di Star High. Gadis berambut sebahu itu hanyalah siswi biasa yang beruntung bisa terangkat menjadi ketua drawing club. Hidupnya tenang-tenang saja dan terkesan monoton. Sampai suatu hari Selma melakukan sebuah k...