[9] Kembali

372 44 6
                                    

Seminggu setelah dirawat inap di rumah sakit, sore ini akhirnya Azel diperbolehkan pulang. Dengan catatan ia harus lebih menjaga lagi kesehatan tubuhnya. Gadis itu tak boleh melakukan pekerjaan yang berat ataupun yang bisa membuatnya kepikiran.

Jadwal cuci darah pun sudah menanti Azel di depan mata. Selasa dan Kamis, hari dimana gadis itu harus ke rumah sakit untuk kontrol kesehatan dan melakukan cuci darah. Sampai sekarang pun, pendonor ginjal masih dicari keluarganya dibantu oleh pihak rumah sakit.

Selma meletakkan tas berisi baju Azel di meja ruang tengah. Ia ikut membantu kepulangan saudaranya sore ini. Bahkan seragam pramuka masih melekat di badannya. Menandakan bahwa ia langsung ke rumah sakit sepulang sekolah tadi.

"Kamu langsung ke kamar, ya, istirahat." Riana yang sedang memapah Azel berujar.

"Aku mau ke kamar, asal dianterin sama Selma," ujar Azel seraya menatap ke arah Selma yang sedang terduduk di sofa.

Riana dan Vian yang mendengarnya sontak saling berpandangan. Sedetik setelahnya, Vian mengangguk dan membuka suara. "Yaudah, Selma, tolong anterin Kakakmu ke kamar, ya," pintanya.

Selma pun tersenyum tipis lalu mengangguk. Dengan gerakan pelan, ia mengambil alih tubuh Azel dari Mamanya.

"Selma mau makan apa? Nanti Mama nyuruh Bibi anterin ke kamarnya Azel." Riana bertanya setelah Azel tak lagi ia papah.

"Gak pengen makan apa-apa, Ma. Maunya es milo aja," jawab Selma dan langsung mendapat anggukan kepala dari Riana.

Setelahnya, Selma segera memapah Azel menuju lantai dua, dimana kamar Kakaknya berada. Sekitar lima menit berjalan, barulah mereka sampai.

Seperti biasa, kamar dengan nuansa cokelat dan abu-abu itu rapi. Azel memang tidak suka tempat kotor dan berantakan. Kamarnya pun terlihat aesthetic dengan ornamen cokelat yang mendominasi.

Dengan hati-hati, Selma menuntun Azel untuk berbaring di ranjang. Tapi pergerakan itu terhenti ketika Azel memegang tangannya.

"Gue mau duduk aja."

Selma mengangguk lalu mengambil dua bantal untuk menyanggah punggung Azel. Jadilah Kakaknya itu duduk dengan punggung yang menyender di kepala ranjang.

"Gimana keadaan lo? Perutnya masih sering sakit?" tanya Selma seraya ikut duduk di pinggir ranjang. Tatapan matanya menyiratkan kekhawatiran. Tatapan yang berhasil membuat sudut relung hati Azel menghangat.

"Lo lupa, ya? Gue, 'kan, kuat," jawab Azel disertai kekehan di akhir kalimat.

Namun Selma sama sekali tak ikutan terkekeh mendengarnya. Ia tahu, Kakaknya hanya pura-pura kuat di depannya. Azel pasti tersiksa dengan kondisi sekarang.

"Gue mau lo bertahan sampe kita nemuin pendonor buat lo," kata Selma dengan nada bergetar.

Azel menipiskan bibirnya. Tak urung ia menatap bola mata Selma dengan hangat. Meskipun keduanya tak terlalu dekat, tapi Azel tahu, ikatan persaudaraan mereka tetap kuat.

"Tergantung."

"Enggak, Zel! Lo harus bertahan!"

Menghela napas, Azel mendekat ke arah Selma dan langsung merengkuh tubuh mungil Adiknya. Ia menepuk pelan punggung Selma seraya tetap mengembangkan senyum di bibir pucatnya. "Gue bakalan bertahan sebisa dan semampu gue, Selma. Tapi lo tau, 'kan, semua ini tergantung dari atas. Kita emang punya keinginan, tapi semesta juga punya kenyataan."

Mata Selma memburam mendengar ucapan lirih itu. Tangan yang semula diam terulur melingkar di bahu Kakaknya. Sungguh, walaupun mereka tak dekat, Selma tak ingin kehilangan Azel.

Halcyon [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang