[41] Sakit yang Dibiasakan

181 34 6
                                    

"Makan dulu." Arial menyodorkan piring berisi nasi dan ayam geprek di depan Audya dengan gerakan pelan. Mereka tidak sempat mampir makan tadi karena Arial telanjur khawatir dengan keadaan Audya yang terus menangis. Jadinya cowok itu hanya memesan makanan lewat go-food tadi.

Audya yang belum berganti pakaian hanya bergeming. Air mata terus saja meluncur di pipinya, membuat Arial bingung sendiri.

"Au, makan dulu, ya? Ini udah mau malem lho. Ntar nyokap lo khawatir kalo ngeliat lo nangis gini dan belum makan," bujuk Arial dengan lembut.

"Gu—gue salah, ya, Yal?" tanya Audya dengan nada sesenggukan.

"Kenapa lo mikir gitu?"

Audya menggeleng pelan, tangannya terulur mengusap air mata di pipinya. "Entah kenapa gue ngerasa bersalah mutusin Wira gitu aja. Bagaimanapun, gue sama dia dulu menjalin hubungan karena emang saling membutuhkan."

Arial terdiam sejenak. Melihat Audya seperti ini diam-diam juga membuatnya merasa bersalah. Jika saja ia tak meminta Audya memutus hubungan mereka, mungkin sahabatnya itu akan baik-baik saja sampai sekarang.

Namun, Arial juga tidak bisa tinggal diam. Wira itu tidak tulus. Wira hanya menganggap Audya sebagai bahan taruhan dengan teman-temannya.

"Lo nggak salah. Wira yang salah karena udah jadiin lo bahan taruhannya."

Audya mendongak, tampak baru mengingat hal itu. "Kenapa lo bisa tau?"

Terlebih dahulu Arial memperbaiki posisinya. Setelahnya, mengalirlah ucapan tentang ia yang tak sengaja mendengar obrolan Wira dan teman-temannya di salah satu kelas. Tak ada yang Arial lewatkan, bahkan ia menyebutkan nama-nama teman Wira yang ada di sana.

Untungnya, ingatan Arial tergolong tajam. Sedikit banyak ia masih mengingat dengan jelas ucapan-ucapan seperti apa yang keluar dari mulut mereka.

"Pada intinya, Wira harus bikin lo bucin banget sama dia supaya bisa dapetin apapun dari temen-temennya ini. Bahasa kasarnya, lo dijadiin taruhan sama mereka," papar Arial dengan jelas.

Audya terdiam sejenak. Dalam hati ia sedikit tidak menyangka Wira berbuat seperti itu. Namun di sisi lain, ia juga sulit percaya. Apalagi mengingat ucapan dan tatapan Wira tadi. Terlihat tulus dan terdengar frustasi.

Audya bingung.

Ia merasa semua serangan ini terlalu mendadak. Audya tak tahu harus mendengarkan siapa.

"Gue bingung, Yal. Di sisi lain gue udah mulai sayang sama Wira," ujar Audya lirih. Bulir air mata kembali meluncur.

"Dia yang bikin gue sadar kalo lo emang nggak bisa gue gapai. Dia juga yang ngajarin gue buat nggak nilai orang hanya dari satu sisi. Dan ... dia juga yang bikin gue belajar banyak hal. Belajar untuk tetep bersyukur dengan keadaan sekarang. Belajar untuk ikhlas kalo orangtua gue emang udah nggak bisa sama-sama lagi. Belajar melihat kesulitan orang lain biar gue tetep bersyukur."

Kening Arial mengernyit. Ia sedikit tak menyangka Wira sudah melakukan banyak hal untuk Audya di saat hal seperti itu dialah yang seharusnya mengambil alih, sebagai seorang sahabat.

Berdeham, tangan Arial terulur dan membawa kepala Audya di bahunya. Memberikan usapan di punggung sebagai bentuk support-nya.

"Maafin gue, Au."

Permintaan maaf itu mencakup semua yang telah Arial lakukan. Ia yang tak bisa menerima perasaan Audya. Ia yang sudah meminta Audya mengakhiri hubungannya dengan Wira. Dan masih banyak lagi kelakuan Arial pada Audya yang sepantasnya ia beri kata 'maaf'.

"Gue sayang sama Wira, Yal." Cengkraman di seragam Arial terasa. Membuat perasaan pemuda itu gamang.

Apa yang harus ia perbuat sekarang?

Halcyon [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang