[17] Time Flies

344 40 4
                                    

Selma mendudukkan diri di bangku sebuah halte yang paling dekat dengan komplek perumahannya. Sesekali gadis berkuncir itu menatap jam hitam yang melingkar di pergelangan kirinya. Sudah pukul 10, dan batang hidung Arial belum juga muncul.

Menghembuskan napas, Selma mengeluarkan ponsel dari ransel hitam yang tersampir di pundaknya. Hari ini, sesuai janjinya tadi malam dengan Arial, ia akan menemani cowok itu ke suatu tempat.

Entahlah, Selma juga tidak tahu Arial akan kemana. Ia hanya tinggal ikut dan menurut saja sebelum cowok itu semakin menyebalkan.

"Gak ada akhlak emang si Arial! Masa gambar mukanya tanpa izin aja udah marah-marah! Ngasih hukuman lagi! Lebay dan drama emang tuh cowok." Selma bergumam sendiri seraya kembali memasukkan ponsel ke dalam tasnya. Ia habis mengirim pesan pada Arial bahwa ia sudah menunggu.

Selma sengaja tak meminta Arial menjemputnya di rumah. Karena ia yakin, semua orang pasti akan penasaran dan heboh, dan saat ini Selma sedang malas ditanya-tanya.

Tadi pun ia hanya meminta izin pada mamanya. Tidak memberitahu Azel dan juga papanya. Alasan Selma pun bukan mau menemani cowok bernama Arial, ia mengatakan ada kegiatan dengan teman ekskulnya.

Dalam hati, Selma sudah berkomat-kamit memohon ampun karena sudah berani berbohong.

Sedang sibuk-sibuknya melamun, sebuah motor vespa berhenti di depan halte. Selma menghela napas melihat pemandangan yang sudah ditunggu-tunggunya sejak tadi.

"Lama banget lo!" sembur Selma tanpa menyembunyikan nada kesalnya. Ia meraih helm yang baru saja disodorkan Arial dengan sedikit kasar.

"Macet," jawab Arial pendek. "Lagian lo kenapa harus nunggu di sini, sih?! Lo pikir gue takut hadepin orangtua lo gitu?!" lanjutnya.

Selma memutar bola mata malas. "Gue yang takut lo ketemu sama mereka."

"Gue bisa hadepin mereka kok, kalo itu yang lo khawatirin."

"Ralat. Gue takut kalo orangtua gue harus ketemu sama lo, abis lo, 'kan, anaknya galak banget. Kalo udah ngomong kadang gak berperasaan," sahut Selma blak-blakan. Kini, ia sudah naik ke jok motor dan memperbaiki posisinya agar nyaman.

"Gini-gini gue bisa bedain kali ngomong sama siapa. Kalo sama yang lebih tua, gue mana mungkin asal nyablak aja."

"Siapa yang tau, 'kan?"

Arial berdecih sinis, ia hanya mengibaskan tangannya sebagai tanggapan.

"Ngomong-ngomong lo bawa apaan pake ransel segala? Biasanya kalo cewek paling pake sling bag atau tas selempang kecil gitu."

Selma sedikit tersenyum mendengar pertanyaan Arial. Ternyata cowok itu diam-diam memperhatikan dirinya.

"Gue kalo keluar emang biasanya bawa ransel gini. Karena isinya bukan dompet sama hp doang, ada buku sketsa, pensil, powerbank, sama tisu plus plester luka."

"Buseet, hampir lengkap, ya. Lo mau nemenin gue apa mau piknik, sih?!"

"Yaa, namanya juga buat jaga-jaga."

Arial pun mengangguk pelan, sedikit terpesona akan tingkah ajaib gadis di belakangnya ini.

"Ngomong-ngomong kita emang mau kemana, Yal?"

"Kemana aja."

Jawaban yang sama sekali tak memuaskan.

***

Matahari perlahan mulai naik ke atas kepala. Wajar, karena waktu hampir menunjukkan pukul 12 siang.

Selma yang berjalan di samping Arial sesekali mengeluh karena kepanasan. Ternyata cowok itu membawanya ke Jl. Ir. H. Djuanda atau lebih dikenal dengan kawasan Dago.

Halcyon [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang