[31] Pagi yang Tak Biasa

283 41 6
                                    

Jam sudah menunjukkan pukul 9 pagi, namun penghuni kamar didominasi warna abu-abu dan putih itu masih terlelap di kasur. Bahkan selimut yang melorot dari ranjang tak dihiraukannya.

Sampai sebuah ketukan lirih berbunyi dari arah pintu. Namun tentu saja suara itu tak bisa membangunkan sang pemilik kamar yang masih tertidur lelap.

"Kak Iyal! Bangun!" Seruan Lova yang menyerupai cicitan kecil itu masih belum mampu membuat Arial bangun dari tidurnya. Cowok itu bahkan semakin membenamkan wajahnya ke bantal.

Lova yang berdiri di depan kamarnya sontak mengerucutkan bibir sebal. Untung saja hari ini Minggu, tidak sekolah. Tapi bukan itu masalahnya sekarang.

"Kak Iyal! Kalo gak bangun, Lova masuk lho."

Masih tak ada gerakan dari Arial. Karena sudah tak sabar, Lova langsung saja membuka pintu kamar kakaknya. Sebenarnya ia bisa membukanya dari tadi, namun Lova selalu diajarkan oleh Arial untuk tidak membuka pintu kamar jika tak ada izin dari pemilik. Namun hari ini sepertinya Lova harus melanggar peraturan tak tertulis yang dibuat Arial.

"Kak Iyaaaal! Bangun! Ada temen Kakak di bawah!" seru Lova seraya naik ke kasur. Dengan sengaja ia menduduki tubuh kakaknya itu lalu mencubit hidung Arial dengan kencang.

Berhasil.

Mata Arial langsung mengerjap-ngerjap ketika merasakan adanya gangguan. Ia lantas menguap lebar ketika melihat keberadaan Lova yang duduk anteng di atasnya.

"Lova ngapain ke sini?" tanya Arial dengan nada serak khas orang bangun tidur.

Lova berdecak sejenak. "Ada temen Kakak di bawah. Lova disuruh sama Mami buat panggil Kak Iyal."

"Gathan atau Alden?"

Terlihat Lova berpikir, lantas menggeleng. "Cewek."

Kening Arial lantas mengernyit pelan. Bingung sekaligus heran siapa gerangan yang mencarinya pagi-pagi begini.

"Ya udah Lova turun duluan aja. Bilangin ke temen Kakak sama Mami, Kakak mau mandi dulu."

Lova mengangguk patuh seraya turun dari kasur Arial. Sebelum keluar dari sana, gadis kecil itu sempat-sempatnya menginjak kaki kiri Arial dengan kencang.

"Lova!" Arial menggeram tertahan ketika melihat tubuh Lova sudah lari terbirit-birit keluar dari kamarnya. Ia masih bisa mendengar cekikikan bocah itu.

"MAAF, KAK!"

Arial menghela napas pelan ketika teriakan Lova menyusul geramannya. Cowok itu lantas menarik handuk dari gantungan baju di belakang pintu lalu berjalan menuju kamar mandi. Badannya sungguh pegal luar biasa.

Menginap di sekolah selama dua hari ternyata bisa membuatnya kelelahan seperti ini. Apalagi semalam, Arial baru bisa tertidur ketika jam sudah menunjukkan pukul tiga dini hari.

Selepas pensi, ia masih harus mengurus beberapa masalah. Entah itu alat-alat audio yang harus cepat dikembalikan, juga alat berharga lainnya. Niatnya ingin menginap saja di sekolah—bersama beberapa panitia lainnya, tapi Arial sudah ditelpon sang mami untuk segera pulang. Papanya sedang tak ada, jadilah ia memilih pulang, di jam dua dini hari.

Kurang lebih sepuluh menit, Arial sudah mandi dan berganti pakaian. Wajah kusut, lelah, dan kusam sudah tergantikan dengan wajah fresh, cerah dan tentunya lebih enak dipandang. Meskipun kantung bawah matanya tak bisa berbohong jika ia kurang tidur beberapa hari ini.

Seraya bersiul pelan, pemuda berkaos hitam dan mengenakan celana pendek selutut berwarna khaki itu keluar dari kamar. Ia sedikit penasaran siapa gerangan tamu cewek yang dimaksud Lova tadi.

Dan rasa penasarannya terjawab ketika baru saja Arial melewati dapur. Di sana, di depan kitchen set berdiri dua orang perempuan yang sedang menghadapi beberapa alat dan bahan memasak. Meskipun keduanya membelakanginya, Arial tentu saja bisa mengenal sosok tersebut dengan mudah.

Sedikit kaget, tapi Arial lebih penasaran kenapa Selma bisa ada di rumahnya pagi-pagi begini.

"Selma?"

Perempuan yang mengenakan dress putih selutut dengan cardigan bunga-bunga itu menoleh. Selma lantas mengulas senyumnya ketika melihat sosok Arial.

"Hai," sapanya.

Kening Arial mengernyit, ia tidak tahu kenapa Selma bisa tahu rumahnya. Dan kenapa juga gadis itu bisa ada di sini? Di dapur? Dengan sang mami?

"Mukanya jangan kaget gitu, dong, Yal. Kamu nih ternyata punya pacar tapi gak pernah bilang-bilang sama Mami." Kini sang mami ikut angkat suara. Wanita yang menggunakan celemek berwarna krem itu tampak sedang mengaduk adonan di sebuah wadah.

"Tante bisa aja. Kan, tadi udah bilang, Selma bukan pacarnya Arial, Tante."

"Ah, iya. Maaf, Tante lupa. Tapi kalian keliatannya deket."

Selma meringis pelan seraya melirik Arial yang masih berdiri di belakangnya. Niatnya untuk mengantar barang-barang cowok itu yang tertinggal di sekolah ternyata menyeretnya sampai sejauh ini. Mami Arial mengiranya pacar anaknya, dan berujung wanita itu meminta Selma menemaninya membuat brownies.

"Lo kenapa bisa di sini?" Pertanyaan itu tentu saja ditujukan kepada Selma. Kini Arial memilih duduk di kursi tinggi yang di depannya ada meja yang memisahkan area dapur dan meja makan.

"Gue bawain baju-baju lo yang ketinggalan di sekolah. Tadi pagi-pagi banget Prilly nganterin itu ke rumah gue. Katanya dia gak bisa nganterin sampe ke sini, mendadak ada urusan."

Arial terlihat mengangguk-angguk paham. "Tapi kenapa Prilly harus ngasih lo? Bisa aja, kan, dia titipin ke Gathan aja."

"Soal itu gue juga kurang tau. Tapi kata Prilly dia sengaja ngasih ke gue karena emang gue sama dia satu blok, mungkin supaya gampang kali, ya?"

"Terus lo udah berapa lama di sini?"

"Sekitar setengah jam?"

"Lumayan lama dong. Kenapa gak telpon aja?"

"Udah ditelpon, tapi gak diangkat-angkat." Ada nada kesal di sana. Membuat bibir Arial tak bisa tak tertarik ke atas. Wajah di depannya itu sungguh menggemaskan jika kesal.

"Aduh, kalian itu beneran gak ada apa-apa?" Wina—Mami Arial menginterupsi. Ia dari tadi menonton percakapan kedua remaja di depannya ini.

Selma tersenyum canggung, lantas menggeleng pelan. "Gak ada apa-apa kok, Tante."

Wina beralih menatap anaknya, meminta penjelasan yang lebih akurat. Karena dilihat-lihat, keduanya terlalu dekat jika harus dikategorikan sebagai teman biasa saja.

Arial yang menatap wajah penuh penasaran maminya sontak tersenyum miring. Pemuda itu mencomot biskuit cokelat dari toples di depannya lantas mengunyah pelan.

Beberapa detik terlewati, terdengar bunyi gesekan kaki kursi dengan lantai. Itu ulah Arial.

"Beneran, Yal?" Wina memilih bertanya langsung saja kepada anaknya. Greget sendiri karena dari tadi Arial hanya diam dan sesekali menyunggingkan senyum mirip seringaian.

Sementara Arial yang sedang sibuk mengambil sesuatu di kulkas, Selma bisa merasakan jantungnya bergemuruh di dalam sana. Ikut penasaran dengan jawaban yang akan dilontarkan cowok itu.

"Gak usah dengerin Selma, Mi. Dia itu, kan, calon mantu Mami."

Dan Selma bisa merasakan kerja jantungnya berhenti sejenak.

Benar-benar Singarial itu!



***

Seneng-seneng dulu, uwu-uwu dulu, bahagia-bahagia dulu, sebelum nanti ada anu awokwok :v

Tetep dukung Halcyon, ya <3

Jangan lupa tinggalkan jejak ♡

Halcyon [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang