[21] Afeksi

351 52 29
                                    

"Mama kecewa sama kamu, Selma!"

Tubuh Selma menegang mendengar kalimat itu. Tak ada yang bisa ia lakukan selain berdiri dan menundukkan pandangannya.

Riana yang sedang duduk di sofa tampak memijit keningnya pelan. Ia menatap putri bungsunya dengan tatapan lelah, lalu beralih ke arah Azel yang duduk di single sofa.

"Udah masuk IPS, dari SD sampe sekarang peringkatnya cuman ketiga dan keempat mulu, terus sekarang apa? Seleksi OSN aja gak lolos! Kamu itu niat sekolah apa enggak, sih, Sel?"

Bungkam. Selma tak bisa dan tak mau membuka mulutnya. Ia membiarkan Mamanya mengeluarkan semua kemarahannya malam ini.

"Padahal Mama cuma minta kamu lolos seleksi buat wakilin sekolah. Bukan buat jadi juara di OSN nanti," lanjut Riana lagi.

"Maaf, Ma," gumam Selma pelan. Ia semakin menundukkan pandangannya, menatap jari-jarinya yang memilin ujung piyama yang ia pakai.

Gadis itu sedikit merutuk karena Papanya belum pulang. Hari ini Vian sedang lembur di kantor, membuat Selma tak bisa meminta perlindungan dari amarah Riana.

"Kamu itu bisanya apa, sih? Mama cuman minta kamu jadi anak pinter lho. Gak pernah nuntut kamu harus jadi dokter, atau apalah itu."

Selma meneguk salivanya kasar. Ia sudah terbiasa. Setiap kali Selma berbuat sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan Riana, ia pasti akan mendapatkan amarah dari wanita itu.

Dari ia kecil, Mamanya sudah menuntutnya untuk menjadi seseorang yang pintar dan berprestasi dalam bidang akademik.

"Kamu harusnya contoh Azel. Walaupun fisiknya gak sempurna, tapi nilai-nilainya hampir sempurna. Pinter Matematika, jago bikin puisi, hafal mati tabel periodik Kimia, tau banyak rumus Fisika dan masih banyak lagi."

"Maa ..." Azel menyela. Tangan Riana terangkat, menandakan Azel tak boleh ikut campur.

Selma mengangkat pandangannya ketika kalimat itu keluar dari bibir Mamanya. Menyakitkan. Namun ia bisa apa. Ucapan Riana itu kebenaran yang mutlak.

"Sedangkan kamu gak se-sehat Azel tapi lolos seleksi OSN di sekolah aja gak bisa. Katanya gak bakal ngecewain Mama." Riana menghembuskan napas kasar. "Tapi apa?! Ini kesekian kalinya kamu bikin Mama kecewa," lanjutnya.

"Maaf, Ma. Selma salah." Tidak ada yang bisa Selma ucapkan selain permohonan maaf. Ia tak bisa dan tak ingin melawan. Semuanya terlihat percuma sekarang.

Lagi lagi Riana menghembuskan napas kasar. Wanita itu menatap Selma dengan sorot tajam. "Permintaan maaf diterima. Tapi hukuman tetep ada."

Azel tampak ingin angkat suara, tapi Riana melihat pergerakan itu dari sudut matanya. "Azel, kamu masuk kamar. Minum obat, dan langsung tidur."

"Tapi, Ma ..."

"Jangan bikin Mama marah sama kamu, Azel," desis Riana pelan, namun terdengar seperti peringatan di telinga Azel.

Menatap Selma sebentar, dengan berat hati Azel melenggang dari sana. Ia tak bisa berbuat banyak untuk membantu adiknya dari amarah Riana.

"Uang jajan kamu Mama potong dua bulan," ujar Riana terdengar santai.

Mata Selma sontak membulat, tentu saja ia tak terima dengan hukuman itu. Keuangannya sedang menipis karena dipakai untuk membayar biaya perbaikan kamera Arial. Sebagiannya ia pakai untuk membeli beberapa alat gambar sebelum lomba kemarin.

"Tapi, Ma--"

"Protes. Hukumannya ditambah jadi tiga bulan."

Selma ingin menangis saja mendengar ucapan itu. Tak ada yang bisa dilakukannya selain bungkam dan mengangguk perlahan.

Halcyon [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang