Hari semakin gelap, namun motor vespa yang dikemudikan Arial masih berada di jalan. Selma yang duduk di belakang, sesekali berdecak kesal karena mereka belum sampai-sampai juga. Belum lagi angin yang kencang membuat rambutnya yang tak diikat jadi berantakan. Ia yakin, sampai di tempat tujuan nanti rambutnya akan terlihat seperti sarang burung.
"Arial?!" panggil Selma dengan suara yang dikeraskan.
"Apaan?!" balas Arial tak kalah keras.
"Masih jauh gak, sih? Keburu maghrib ini."
"Udah deket." Hanya itu yang dikatakan Arial, dan Selma kembali diam. Ia berusaha untuk percaya dengan ucapan cowok itu.
Vespa abu-abu itu berbelok ke arah kiri memasuki sebuah gang yang sempit. Mata Selma sedikit mengernyit melihat pemandangan yang mereka lalui. Di sepanjang jalan, tampak rumah-rumah berjejer berdempet-dempetan. Suasananya pun lebih ramai daripada komplek perumahan biasa.
Banyak anak kecil yang berdiri di pinggir jalan, mereka tampak bermain. Selma refleks menutup hidung ketika aroma tak sedap menyapa indra penciumannya. Bau pesing dan bau sampah seolah berbaur menjadi satu. Selma yakin, mereka kini ada di salah satu perumahan kumuh yang ada di Bandung. Dan ia sedikit tak menyangka, tempat yang akan dituju keduanya ada di sini.
Sekitar 10 menit melewati gang sempit yang hanya cukup dilewati satu mobil itu, Arial akhirnya memberhentikan vespanya. Selma segera saja turun dari sana dan memperbaiki tatanan rambutnya yang sungguh tak enak dipandang mata.
"Arial?"
Seorang pria paruh baya menghampiri mereka dengan senyuman ramahnya. Selma baru sadar mereka berhenti di halaman sebuah rumah yang sederhana.
"Assalamu'alaikum Pak Kardi." Arial langsung saja mencium punggung tangan pria yang dipanggil Pak Kardi itu.
"Waalaikum'salam. Udah lama banget kamu gak kesini, kemana aja nduk?"
Arial sedikit menyunggingkan senyum, dan pemandangan itu sedikit membuat Selma terdiam di tempat. Bagaimana tidak, Arial yang ia kenal jarang sekali tersenyum. Cowok itu lebih suka memperlihatkan tatapan tajam nan bengis serta seringaiannya.
"Lagi sibuk sekolah, Pak. Bentar lagi bakalan ada Pensi, jadi lebih sibuk lagi."
"Oalah, gitu toh, ya udah mari masuk. Ibu sama Yuda pasti seneng kamu dateng lagi." Pak Kardi tampak menarik tangan Arial, namun pergerakan itu terhenti ketika menyadari ada seseorang yang berdiri di belakang. "Ini siapa, Yal?" tanyanya.
"Ini temen Arial, Pak. Namanya Selma," jawab Arial dengan ramah. Selma yang mendengar itu pun sontak mengulas senyum terbaiknya, dengan sopan ia menyalami punggung tangan Pak Kardi.
"Kenalin, Pak, saya Selma."
"Oalah, temenmu cantik pisan, Arial," komentar Pak Kardi seraya terkekeh pelan. Hal itu membuat Selma juga Arial jadi tersenyum canggung.
"Makasih, Pak, tapi Selma biasa aja kok," ujar Selma sembari menunduk malu-malu. Pemandangan itu sontak membuat Arial bergidik geli lalu berucap, "Jangan dipuji-puji gitu, Pak, takut kepalanya jadi besar."
Ucapan itu sontak membuat Pak Kardi jadi tertawa kecil. Namun itu tak berlaku untuk Selma, ia benar-benar kesal dengan kalimat Arial barusan. Pemuda itu sungguh minta dihujat.
"Bentar lagi azan maghrib, ada baiknya kalian siap-siap shalat dulu, baru jelasin apa tujuannya dateng ke sini."
Arial tampak mengangguk mendengar kalimat Pak Kardi itu. Segera saja ketiganya masuk ke rumah ber-cat kuning gading milik keluarga Pak Kardi. Bersamaan itu azan maghrib berkumandang, tanda bahwa saatnya kembali menghadap kepada sang pencipta.
KAMU SEDANG MEMBACA
Halcyon [Completed]
Teen FictionSelma Tabitha bukanlah murid terkenal di Star High. Gadis berambut sebahu itu hanyalah siswi biasa yang beruntung bisa terangkat menjadi ketua drawing club. Hidupnya tenang-tenang saja dan terkesan monoton. Sampai suatu hari Selma melakukan sebuah k...