"Tadi Ibu baru aja dapet laporan kalo syarat lomba itu ada beberapa yang baru revisi." Bu Kiana meletakkan selembar kertas di depan Selma seraya memperbaiki kacamata minusnya.
Dengan hati tak karuan Selma membaca perubahan syarat-syarat dari lomba ilustrasi yang akan diikutinya nanti. Memang benar, ada beberapa poin yang berubah di sana. Termasuk sistem pengumpulan karya yang awalnya bisa dikerjakan dimana saja menjadi terbatas.
"Jadi alat dan bahan buat menggambar pihak peserta sendiri yang akan menyiapkannya. Ilustrasi juga dikerjakan saat lomba berlangsung dengan durasi pengerjaan adalah 3 jam. Ibu harap kamu bisa dan yakin untuk menyelesaikan dengan waktu yang udah ditentuin pihak event," jelas Bu Kiana dengan raut wajah serius.
Selma sedikit menelan salivanya kasar, mendadak pundaknya terasa berat. Lomba yang akan diikutinya bukan main-main, ada ekskul yang harus ia pertahankan.
"Saya akan usahakan, Bu."
Bu Kiana tampak tersenyum lalu mengangguk pelan. "Nggak ada yang bisa menyelamatkan Drawing Club selain kamu Selma. Jadi Ibu sangat berharap kamu bisa ngelakuin ini semua."
"Kamu jangan khawatir, formulir pendaftaran biar Ibu yang serahkan ke pihak lomba. Uang pendaftaran juga nggak usah kamu pikirin, itu udah tanggungjawab dari sekolah. Kamu tinggal mempersiapkan diri dan melatih diri," lanjut Bu Kiana.
Selma mengangguk patuh, ia mengulas senyum terbaiknya. Walaupun dalam hati gadis itu ketar-ketir, namun ia tak memperlihatkannya di depan Bu Kiana. Selma akan berusaha untuk tak mengecewakan banyak pihak.
"Kamu bisa pulang."
"Makasih banyak, Bu." Selma menunduk sejenak tanda penghormatan sebelum ia menyalami punggung tangan pembina Drawing Club itu. Setelahnya, Selma segera keluar dari ruang guru dengan perasaan yang tak bisa dijabarkan serta pundak yang semakin memberat.
Menyusuri lorong ruang guru, Selma mengedarkan pandangan di sekitar. Sekolah sudah cukup sepi karena bel pulang memang sudah berbunyi satu jam yang lalu. Samar-samar Selma mendengar suara anak basket yang sedang bermain di lapangan indoor yang memang terletak tak jauh dari gedung ruang guru.
Terik matahari sore langsung membuat mata Selma sedikit menyipit ketika ia sudah menginjakkan kakinya di pinggir lapangan. Mendadak langkahnya terhenti ketika bunyi dari dalam tasnya sedikit mengganggu.
Selma mengambil ponselnya dari tas dan mendapati nama Papanya di sana. Tanpa menunggu lagi, ia langsung mengangkat panggilan itu.
"Halo, Pa."
"Selma, kamu dimana?"
"Ini baru mau pulang, Pa. Aku abis ketemu sama Bu Kiana dulu."
Dan ucapan Vian selanjutnya membuat tubuh Selma menegang. Sedetik setelah Papanya berucap, Selma langsung memutuskan panggilan telepon.
Dengan langkah terburu-buru, nyaris berlari, Selma menyusuri jalanan menuju gerbang sekolah. Namun pergerakan itu terhenti ketika ia melewati area parkiran.
Tidak ada pilihan lain.
Selma terburu-buru sekarang, dan akan sangat memakan waktu yang lama jika ia harus menunggu angkot atau pun memesan ojek. Jadilah ia menghampiri seseorang yang dikenalnya di parkiran.
"ARIAL!" panggil Selma dengan nada tak santai. Gadis itu terlihat mengatur napasnya sejenak setelah ia sampai di samping Arial yang baru saja naik ke motornya.
"Buseeett, ngegas amat lo. Udah berani, ya, sekarang sama gue?!" ujar Arial garang. Ia tentu saja sedikit kaget akan panggilan keras tadi.
Selma menggeleng cepat, ia benar-benar tak punya waktu jika harus meladeni Arial. "Tolong anterin gue ke rumah sakit sekarang!"

KAMU SEDANG MEMBACA
Halcyon [Completed]
Teen FictionSelma Tabitha bukanlah murid terkenal di Star High. Gadis berambut sebahu itu hanyalah siswi biasa yang beruntung bisa terangkat menjadi ketua drawing club. Hidupnya tenang-tenang saja dan terkesan monoton. Sampai suatu hari Selma melakukan sebuah k...