[40] Di Lorong Sekolah

176 37 10
                                    

"Yal, jadi, 'kan, nanti?" Bel pulang baru saja berbunyi ketika pertanyaan itu didapat Arial. Sosok Selma tampak memunculkan kepalanya di pintu kelas 11 IPA 2. Arial diam-diam terkekeh melihat pemandangan tak biasa itu.

Namun ketika mengedarkan pandang di penjuru kelas, Arial jadi mengerti. Pantas saja Selma mau repot-repot dan berani memunculkan kepalanya, di kelasnya sudah lumayan sepi. Hanya ada beberapa siswa yang masih sibuk berkemas, itu pun tampak tak terlalu peduli dengan keberadaan Selma.

"Jadi dong!" Itu jawaban Arial ketika ia sudah menghampiri Selma.

Hari ini rencananya mereka akan ke salah satu bazar buku murah dekat ITB. Ada beberapa buku puisi yang sedang dicari Selma, dan Arial menemani. Mungkin Arial juga akan membeli buku nanti, kalau ada yang cocok.

"Udah minta izin emang?" tanya Arial ketika keduanya sudah berjalan beriringan menyusuri koridor yang mulai sepi. Kebanyakan murid sudah pulang, sebagiannya masih terlihat di parkiran—sedang berusaha mengambil kendaraan masing-masing.

"Udah kok."

Arial tampak menyipitkan mata. "Minta izinnya bukan karena alasan mau ekskul, kan?"

"Ya enggaklah. Gue jujur kok sama Mama, gue bilang gue mau ke bazar buku yang deket ITB. Dan diizinin."

"Tapi nggak bilang kalo perginya sama gue."

Selma tergelak lalu tanpa sadar memukul bahu Arial pelan. Kalau biasanya pukulan seperti itu akan menyulut emosi Arial, kali ini itu tidak terjadi. Sentuhan fisik itu bahkan sempat membuat Arial bergeming sejenak. Bukan karena kesal atau sejenisnya, namun cowok itu hanya sedang berefuoria dengan keterbungkaman.

"Belum saatnya, Yal," ucap Selma dengan nada lirih, juga disertai senyum menenangkan.

Sebenarnya Arial ingin menyanggah. Selama ia belum mengenal lebih dekat dengan keluarga Selma, dalam artian orangtua gadis itu, Arial tidak bisa mengikat Selma dalam hubungan yang lebih jelas lagi. Ada prinsip yang memang sudah ia pegang bertahun-tahun ini. Dan tentu saja harus ia implementasikan, bagaimana pun keadaannya. Bahkan mungkin saat Selma sudah lelah sendiri dengan hubungan mereka yang tidak jelas begini. Arial tetap harus berpegang teguh pada prinsipnya.

"Gue bakalan tunggu waktu itu."

Dan gue harap lo juga mampu menunggu gue. Kalimat lanjutan yang hanya mampu Arial suarakan dalam hatinya.

Langkah kaki keduanya tiba-tiba berhenti, bukan karena mereka sudah sampai di parkiran. Namun, pemandangan di depan keduanya lah yang menjadi alasan.

"Udah gue bilang, gue nggak mau Wira!" Beberapa jengkal dari tempat mereka berdiri, ada Audya yang tampak sedang berusaha menarik tangannya dari cekalan Wira.

"Lo harus pulang sama gue. Ini perintah Audya dan lo nggak boleh nolak."

"Kita udah nggak ada hubungan apa-apa lagi. Jadi tolong lepasin."

"Enggak!" Wira tampak ingin menyeret Audya menuju parkiran sebelum Arial maju dan mencekal tangan Audya yang lain. Membuat posisi cewek itu tampak sedang diperebutkan dua cowok yang sialnya tampan itu.

Audya menelan saliva kasar ketika melihat Arial. Karena merasakan pegangan Wira melemah, ia memanfaatkan itu dengan segera melepaskan tangannya dari sana dan segera beringsut mundur, berlindung di belakang Arial.

"Wira maksa gue pulang bareng, Yal. Gue nggak mau. Kita, kan, udah nggak ada hubungan apa-apa lagi," ujar Audya dengan nada merajuk. Ucapan itu sempat membuat Selma bergidik.

"Udah denger, 'kan? Kalian udah nggak ada apa-apa lagi. Jadi mending sekarang lo pulang dan gak usah ganggu Audya lagi," ujar Arial seraya menatap tajam ke arah Wira.

Halcyon [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang