"Ini terakhir kalinya lo boncengan sama gue gak pake helm! Besok-besok gak bakal gue tolongin lagi. Mau lo mohon-mohon kek, nangis darah, atau apapun itu, gue gak bakalan peduli!"
Selma turun dari boncengan motor Arial dengan bersungut-sungut. Kini, keduanya sudah sampai di parkiran rumah sakit tempat dimana Azel dirawat. Untungnya keduanya tak ketahuan polisi dan tidak ditilang karena Selma lagi-lagi tak memakai helm.
"Gue, 'kan, pernah bilang kalo kita itu bakalan sering pulang bareng gini. Jadi gue nyuruh lo beliin gue helm, tapi lo gak mau. Giliran gue gak pake helm, gue yang disalahin," ujar Selma dengan raut wajah santai seraya merapikan rambutnya yang berantakan.
Ucapan itu sukses membuat Arial naik pitam. Gadis di depannya ini sepertinya sudah tak takut lagi dengannya mengingat ucapan yang dikeluarkan sudah mulai berani dan menantang.
"Cih, lo gak seistimewa itu untuk gue beliin helm. Lagian lo harusnya sadar diri jadi cewek. Gue udah baik, ya, mau nganterin sampe kesini, malah ngelunjak pengen dibeliin helm. Memalukan!"
Mata Selma mengerjap-ngerjap mendengar ucapan sinis itu. Seperti biasa kalimat yang dikeluarkan Arial mengalahkan cabe rawit sekilo. Tapi sekarang Selma sudah terbiasa akan itu, mungkin karena Arial sudah terlalu sering menyemburnya dengan kata-kata nyelekit.
"Gue nyuruh lo beli helm bukan apa-apa, ya. Firasat gue tuh selalu bener, buktinya udah beberapa hari ini kita selalu boncengan. Gue takutnya nanti kalo udah keempat kalinya kita ketahuan. Motor lo pasti diangkut ke kantor polisi, gak mau itu terjadi, 'kan?"
"Tetep aja lo gak tau malu, Selma Tabitha. Lo harusnya punya inisiatif sendiri buat beli atau bawa helm sendiri," sergah Arial dingin. Selma pun hanya bisa menunduk mendengar ucapan itu. Dengan raut wajah disedih-sedihkan, gadis itu berucap, "Gue, 'kan, lagi berhemat, Yal. Gue gak bisa beli helm."
"Cih, sok berhemat."
"Ihhh beneran tau! Biaya kamera lo itu pasti gak bakalan murah, jadi gue hemat beberapa hari ini. Jangankan, beli helm, jajan di kantin aja gue masih mikir-mikir."
Arial terdiam mendengar kalimat itu. Sedikit tak menyangka ternyata Selma sebertanggung jawab itu dengan apa yang sudah diperbuatnya. Menghela napas pelan, tangan Arial terulur dan mengacak-acak surai Selma.
"Lupain aja," ujar Arial seraya tersenyum tipis. Ekspresi cowok itu berubah dalam waktu sekejap, dan Selma sedikit tak percaya akan penglihatannya.
Arial beranjak terlebih dahulu dari parkiran, meninggalkan Selma yang masih bergeming.
"Oh my gosh!" Selma terpekik lirih seraya meraba puncak kepalanya yang baru saja Arial acak-acak. Mendadak ia bisa merasakan ribuan kupu-kupu terasa menggelitik di perutnya. Tak bisa dicegah, Selma mengulas senyum lebarnya.
Selain Arial penuh kejutan, Perilaku cowok itu juga tak bisa ditebak.
***
Jam sudah menunjukkan pukul 8 malam. Suasana ruang rawat Azel tampak lengang, karena hanya ada tiga manusia di sana. Azel yang baru saja tertidur karena habis makan dan minum obat. Selma yang sedang duduk di sofa seraya mengupas kulit jeruk. Terakhir, ada Arial yang di luar dugaan bertahan di sana sampai malam. Cowok itu tampak mengangkat telepon dari Maminya seraya berdiri di dekat jendela.
Selma mengunyah jeruk yang ia beli sehabis shalat maghrib tadi. Pandangan gadis itu tampak menyorot ke arah Arial yang terlihat baru saja menyelesaikan kegiatannya.
"Kalo mau pulang, pulang aja. Gue gak papa sendiri di sini kok. Mama sama Papa gue juga udah otw kesini." Selma berceletuk ketika Arial mendekat ke arahnya dan ikutan duduk di sofa.

KAMU SEDANG MEMBACA
Halcyon [Completed]
Teen FictionSelma Tabitha bukanlah murid terkenal di Star High. Gadis berambut sebahu itu hanyalah siswi biasa yang beruntung bisa terangkat menjadi ketua drawing club. Hidupnya tenang-tenang saja dan terkesan monoton. Sampai suatu hari Selma melakukan sebuah k...