[37] Awal Sebuah Kerumitan

198 35 5
                                    

Hari ini Arial pulang sedikit sore. Bukan rapat OSIS seperti biasanya, namun cowok itu baru saja selesai latihan futsal bersama teman se-klubnya. Meski ia jarang ikut nimbrung dengan mereka, nyatanya Argi—sang kapten futsal memasukkan Arial di tim inti.

Minggu depan akan ada pertandingan besar-besaran yang mana SHS akan menjadi tuan rumah. Kabarnya, klub futsal SHS akan terlebih dahulu melawan tim dari Popcorn High School—salah satu sekolah elit yang ada di Jakarta.

Bukan tanpa alasan Argi melibatkan Arial dalam lomba kali ini. Pemuda itu sudah menunjukkan potensinya sejak kelas 10 meski jarang ikut latihan. Namun, sekarang Arial akan sering ikut demi menghargai keputusan sang kapten.

Baru saja Arial melewati salah satu kelas, langkah pemuda itu terhenti sejenak. Ngomong-ngomong dia baru saja dari ruang OSIS untuk mengambil tasnya yang ia titipkan di sana.

Sebenarnya Arial bisa saja cuek dan lewat di depan yang belakangan ia ketahui adalah kelas 11 IPS 2. Namun, suara obrolan di dalam sana menghentikan pergerakannya. Apalagi ketika ia mendengar ada nama yang tak asing disebut-sebut di sana.

"Jadi lo udah ngapain aja sama Audya, Wi?"

Terdengar kekehan dari orang yang ditanya. Dan Arial seketika tahu siapa orang-orang yang masih nongkrong di dalam sana. Wira dan antek-anteknya.

"Nggak ngapa-ngapain. Cuma pacaran biasa kok."

"Widiiih, jadi ceritanya Wira udah tobat heh?!" Ada nada ledekan di sana. Lalu di susul oleh suara-suara lain.

"Jadi anak baik dia sekarang mah, apalagi dapetnya kayak Audya. Cewek imut, rapuh, nan harus dilindungi."

"Tapi gue penasaran, lo bisa nggak bikin Audya itu bucin banget sama lo."

Wira mengernyit ketika mendengar ucapan Nino—salah satu temannya di sana. "Maksud lo?"

Nino terkekeh pelan lantas menepuk bahu Wira beberapa kali. "Gue bakalan kasih apa pun yang lo mau, asal tuh cewek bucin banget sama lo. Yaa ... istilahnya tuh kayak nurutin semua kemauan lo gitu."

Terdengar koor mengompori dari teman-temannya yang berjumlah lima orang itu. Wira terdiam sejenak. Tawaran Nino sangatlah menggiurkan, namun ia juga tak sejahat itu untuk membuat Audya tunduk padanya.

"Menarik, tapi gue nggak bisa. Gue beneran sayang sama dia man," ujar Wira dengan nada serius. Kali ini teman-temannya semakin ribut. Bahkan Anto dan Rudi sampai memukul meja saking tak percayanya ia dengan ucapan Wira barusan.

"Wi, gue kasih tau, ya. Cowok itu kalo udah bucin sama pacarnya, itu udah nggak keren lagi. Lo bisa aja diinjek-injek sama dia. Nah, supaya nggak kejadian sama lo, lo harus lebih dulu bikin Audya tunduk sama lo." Kali ini Kevin yang memberinya ucapan tak sehat.

Kening Wira kembali berkerut. Ia mengingat-ingat semua awal pertemuannya dengan Audya sampai sejauh ini. Jujur saja, awalnya Wira memang hanya menjalin hubungan simbiosis mutualisme dengan Audya. Namun, seiring kebersamaan mereka, Wira benaran memiliki rasa pada gadis itu.

Apalagi selama ini Audya sangat perhatian dengan Ibunya. Gadis itu selalu menemani Ibunya yang sedang sakit di rumah. Akan sangat jahat jika Wira mengikuti ucapan teman-temannya ini.

"Lo butuh duit, kan, buat pengobatan nyokap lo?" tanya Nino lagi. Tak perlu berpikir apa maksud Nino bertanya seperti itu, Wira sudah paham.

"Tapi man, gak harus Audya juga, kan?"

Nino menggeleng pelan seraya tersenyum miring. "Gue maunya dia."

"Lagian apa susahnya, sih? Kalian udah pacaran, kan? Gampanglah kalo cuman mau bikin dia bucin banget sama lo. Ambil aja keho—"

Wira mengangkat tangannya, tanda ia tak ingin mendengar ucapan Anto selanjutnya. Tak perlu diteruskan, ia sudah sangat paham.

"Katanya kondisi nyokap lo menurun, dan harus segera dirawat inap di rumah sakit. Ini penawaran nggak dateng dua kali lho, Wi," ujar Nino masih membujuk.

Wira rasanya ingin mati saja. Kondisi Ibunya memang menurun akhir-akhir ini. Strokenya makin parah dan harus segera dirawat di rumah sakit. Sementara ini pemasukannya sedang terkendala.

Jika biasanya ia mendapatkan uang dari hasil bekerja di bengkel, kali ini ia tidak mendapatkan pemasukan apa-apa. Bukan dipecat, namun pemilik bengkel tempat ia bekerja sudah pindah kota.

Ingin meminta dari Tantenya juga Wira sungkan. Adik Ibunya itu sudah terlalu banyak membantu, termasuk membiayai sekolahnya. Andai saja Ayahnya masih hidup, mungkin Wira tak perlu se-frustasi ini.

"Kalo gue berhasil, apa yang bakal kalian kasih ke gue?"

"Lo boleh minta apa pun sama gue," jawab Nino lebih dulu.

"Dan motor gue buat lo." Kali ini Yugo angkat bicara setelah sekian lama hanya menjadi penonton.

"Tuh, duo sultan kita udah nawarin lo hadiah yang nggak main-main. Jadi ... gue harap, sih, lo nggak tolak," ujar Anto dengan kekehan kecilnya.

Wira mengusap wajahnya frustasi. Ini demi Ibunya. Bukan untuk membuat Audya tunduk padanya.

"Oke."

Dan Wira tidak sadar, ada seseorang yang mendengar semua percakapan mereka.

***

"Oke, segitu dulu video dari aku. Nantikan video-video selanjutnya. Jangan lupa comment, subscribe, like and share. Bye guys!" Azel segera mematikan video berdurasi 10 menit itu di kameranya. Tak lupa ia juga mematikan lighting yang menerangi proses pembuatan video tadi.

Selma yang duduk membaca novel tak jauh dari sana hanya melirik sekilas. Kelihatannya hari ini Azel sedang membuat video tentang step night skincare rutin yang ia pakai.

Saat ini keduanya memang sedang ada di ruang keluarga. Tak terlihat sosok Riana dan Vian, kedua orangtuanya itu masih ada di luar kota.

"Sel, lo jangan lupa nonton video gue juga, ya, nanti."

"Hmm." Adalah balasan Selma, ia sedang fokus membaca, tak ingin diganggu. Hal itu sempat mendapat putaran bola mata dari Azel.

Sekitar sepuluh menit saling mendiamkan, akhirnya Selma menutup novel yang ia baca. Matanya sudah lelah. Gadis itu melirik jam yang tertera di ponselnya. Sudah pukul 9 malam.

Teringat sesuatu, Selma segera memeriksa Whatsappnya. Dapat ia rasakan kecewa melingkupi hati. Tidak ada balasan dari Arial sejak ia mengirim pesan dari siang. Dibaca pun tidak, padahal setelah mengecek last seen-nya, cowok itu baru saja online lima menit yang lalu.

Selma Tabitha: Gue pulang dluan aja gpp.

Selma Tabitha: udah sampe rumah?

Selma menghempaskan ponselnya di sofa. Ia menghela napas kasar seraya menghempaskan badannya di sana.

Tiba-tiba saja ucapan Azel di lobi rumah sakit kemarin melingkupi kepalanya. Apa iya cowok seperti Arial harus dijauhi? Tapi, kan, cowok itu belum tentu suka padanya.

Meski beberapa hari belakangan ini Arial kerap kali bersikap manis padanya. Tapi Selma tidak ingin berharap terlalu tinggi meski itu hal yang sia-sia. Nyatanya, sekarang ia sudah menaruh harap besar pada cowok itu.

Selma lagi-lagi menghela napas, kali ini terdengar lirih. Kalau memang Arial adalah tipe cowok yang tidak suka dengan yang namanya ikatan atau komitmen, Selma bisa apa?

Ia hanya perlu mengikuti alur dan menerima konsekuensi jika suatu hari ia akan tersakiti akan ulah Arial.

***

Author note:

Hai :)
Karena cerita sebelah udah tamat, aku bakalan rajin update Halcyon 🌻 doain, semoga aku bisa konsisten, ehehe.

Halcyon [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang