Selma keluar dari kamar mandi setelah berganti pakaian. Tas di tangannya ia simpan di lemari nakas yang terletak di samping brankar Azel. Saat ini gadis itu mendapat giliran untuk menjaga Kakaknya. Riana sedang keluar sebentar untuk memenuhi panggilan Dokter.
"Lo udah makan?" Pertanyaan itu datang dari arah Azel ketika Selma duduk di kursi samping brankar.
"Udah tadi di sekolah."
Azel tampak tersenyum lemah. Bibirnya tampak kering dan pucat. Belum lagi tulang pipinya tampak menonjol, menandakan kalau perempuan itu benar-benar sedang tidak baik-baik saja. Penyakit ginjal semakin menggerogoti dan belum ada tanda-tanda si pendonor akan datang.
Selma yang melihat senyum itu diam-diam merasakan sesak di hati. Ia tidak tahu sampai kapan senyum itu akan selalu ada. Ia juga tidak tahu sampai kapan Azel akan bertahan sampai pendonor ditemukan. Tapi Selma sangat berharap Azel mau dan berniat bertahan.
"Lo nggak pengen ngasih tau temen-temen lo kalo lo sakit?" tanya Selma dengan lirih. Terhitung, sudah tiga hari Azel ada di rumah sakit namun belum ada satu pun temannya yang datang menjenguk. Karena memang keterangan sakitnya hanya bilang kalau ia demam biasa. Orangtua mereka pun sudah bekerja sama dengan Kepala Sekolah juga beberapa guru untuk menyembunyikan hal ini, demi kenyamanan Azel sendiri.
"Begini lebih baik. Gue enggak mau mereka kasian," jawab Azel, lagi-lagi dengan senyuman.
"Gue boleh minta satu hal sama lo nggak?" Azel kembali bertanya. Menimbulkan kernyitan di dahi Selma.
"Boleh."
Terlihat Azel menarik napas dalam-dalam, lantas menghembuskannya secara perlahan. Tatapan gadis itu tampak menerawang, secercah senyum tipis terbit di kedua sudut bibir.
"Kalo suatu saat nanti gue udah enggak ada, tolong jangan nangis, ya, Sel."
"Lo ngomong apa, sih?!" Selma marah. Jelas. Kalau permintaan Azel seperti itu, Selma tidak akan menuruti. Kalimat itu seolah-olah mengindikasikan bahwa Azel tidak ingin bertahan.
"Dan lo juga nggak boleh marah ataupun benci sama Mama." Dan seolah Azel tidak mendengar nada tinggi itu, ia melanjutkan kalimatnya, masih dengan nadanya yang lembut nan lirih.
"Mama sayang sama lo, Sel. Mama sayang sama kita berdua."
Selma kehilangan kata. Hubungannya dengan Riana akhir-akhir ini terasa canggung. Hal yang sebenarnya mengganggu Selma. Bagaimana bisa hubungan seperti itu harus tercipta di antara ia dan Ibu kandungnya sendiri.
Azel tersenyum lagi. "Mungkin selama ini lo ngira Mama cuma sayang sama gue. Dengan nurutin semua keinginan gue, beliin apa yang gue mau, juga selalu nemenin gue belajar dan dukung apapun mau gue. Iya, 'kan, Sel?"
Selma ingin menyanggah, tapi itulah kebenarannya. Kalimat Azel itu tidak ada yang salah. Ia memang mengira kalau Riana itu pilih kasih, dimana dia selalu menempatkan Azel pada prioritas posisi paling atas. Sampai terkadang Selma merasa terlupakan. Belum lagi cek-cok yang sering terjadi di antara keduanya.
"Tapi lo salah, Sel. Mama ngelakuin itu karena mungkin nyadar kalo hidup gue enggak bakalan lama. Beda sama lo yang bisa masih bareng-bareng Mama sampai dewasa nanti."
"Lo ngomong apa, sih, Azel! Kita bakalan sama-sama tumbuh dewasa nanti!" Kembali Selma meninggikan suara. Benar-benar tidak suka dengan topik obrolan mereka.
Azel menggeleng lemah. "Nggak ada yang tau sampai kapan gue bisa bertahan selain Allah."
Kalau Azel sudah membawa-bawa Tuhan, Selma hanya mampu terdiam. Dalam hati raungan tangisan sudah memenuhi rongga dadanya. Sekelabat bayangan mengerikan mampir di kepala. Bayangan yang berusaha Selma usir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Halcyon [Completed]
Teen FictionSelma Tabitha bukanlah murid terkenal di Star High. Gadis berambut sebahu itu hanyalah siswi biasa yang beruntung bisa terangkat menjadi ketua drawing club. Hidupnya tenang-tenang saja dan terkesan monoton. Sampai suatu hari Selma melakukan sebuah k...