[26] Mr. Formulator

338 51 4
                                    

Selma menatap selembar kertas di tangannya dengan perasaan tak karuan. Di sana, tertulis nama lengkapnya berikut NIS dan kelas serta jurusannya.

Kertas itu berisi nilai hasil UTS-nya kemarin. Tidak terlalu buruk, bahkan rata-rata 90, seperti keinginan mamanya. Tapi tetap saja, perasaan Selma cemas tak berkesudahan.

Di sana, ada satu mata pelajaran yang tak mendapat nilai 9 seperti yang lainnya. Mata pelajaran yang dari jaman SD memang tidak pernah Selma suka. Tidak suka karena terlalu memusingkan.

Matematikanya hanya mendapat nilai 80.

Sebenarnya, bagi Selma, nilai tersebut sudah tinggi mengingat ia yang memang lemah di Matematika. Namun, Selma tahu, mamanya pasti tidak akan suka melihatnya. Membayangkan wajah kecewa serta marah Riana membuat Selma frustasi sendiri. Ia tidak tahu kapan ini semua berakhir.

Kapan mamanya berhenti membanding-bandingkan dirinya dengan Azel.

Kapan mamanya berhenti selalu menuntutnya untuk mendapat nilai paling tinggi.

Dan, kapan mamanya mau menghargai usahanya, sekali saja.

Mata Selma memburam, terasa panas dan ingin mengeluarkan sesuatu. Sebelum itu terjadi, ia cepat-cepat memasukkan kertas nilai UTS miliknya ke tas. Tidak lucu jika ia menangis di tengah-tengah keramaian seperti ini.

Ya, Selma memang sedang berada di halte dekat sekolah. Hari ini ia sengaja ingin pulang sendiri, lebih tepatnya sedang menghindari semua orang. Selma tidak ingin raut kesedihannya tertangkap oleh orang-orang di sekitarnya.

Siang menjelang sore ini halte memang selalu ramai. Tentu saja karena di sana banyak murid-murid SHS yang menunggu. Entah itu jemputan atau pun bus.

Selma bangkit dari duduknya, ia berjalan pelan menuju trotoar jalan. Memilih menunggu kendaraan umum di sana saja. Namun, baru saja ia berdiri tiga detik di sana, sebuah motor klasik berhenti di depannya.

"Hai." Sapaan itu diiringi senyuman. Membuat Selma sontak melengkungkan bibirnya, tipis. Ia tidak tahu kenapa cowok di depannya ini selalu menemukannya di halte.

"Mau pulang bareng?" tawar Fahmi seraya menunjuk jok belakang motornya.

Selma menggeleng pelan. "Enggak usah, Kak. Gue bisa pulang sendiri," tolaknya halus.

"Kenapa? Takut ketahuan sama cowok sok ganteng bin mulut pedes itu, ya?"

Tentu saja Selma tahu siapa yang Fahmi maksud. Ia sekali lagi menggeleng, lantas mengulas senyum. "Enggak, Kak. Gue emang pengen pulang sendiri. Gak ada hubungannya sama Arial."

Fahmi tampak tak ingin menyerah. "Lo tau, 'kan, gue gak suka ditolak? Jadi ... lo gak punya pilihan lain my dear."

Baru saja Selma ingin menyela, Fahmi lebih gesit memasangkan helm di kepalanya. Helm berwarna hitam dengan corak tengkorak itu tampak kontras dengan wajah Selma yang polos. Membuat Fahmi menjadi gemas sendiri.

"Ish! Dibilang gak mau!" Selma langsung protes, tampak ingin melepas helm di kepalanya, namun Fahmi sigap mencegah.

"Jangan dilepas! Nanti hati gue patah."

Selma menggeleng tak mengerti, namun akhirnya mengikuti ucapan Fahmi untuk tak melepas helm di kepalanya. Walaupun dengan hati tak ikhlas, ia akhirnya tetap berakhir di boncengan motor Fahmi.

Ya, setidaknya interaksi sederhana tadi cukup mengalihkan pikirannya yang sedang diterpa kusut tak berkesudahan.

***

Seharusnya Selma tak menerima tawaran--- atau lebih tepatnya paksaan Fahmi tadi. Lihat saja, sekarang ia sudah berada di salah satu taman yang tak jauh dari komplek perumahannya. Bukannya langsung pulang, Fahmi malah berhenti di sini. Membuat Selma mau tak mau ikut terseret juga.

Halcyon [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang