[30] Tak Tersuarakan

305 46 10
                                    

Sebelum melihat keberadaan Selma, tadinya Arial ingin ke ruang musik saja, mengistirahatkan badannya sejenak sebelum nanti malam kembali digenjot habis-habisan oleh pensi yang masih berlangsung. Namun niatnya berubah setelah melihat gadis yang akhir-akhir ini cukup dekat dengannya.

Masih dengan tangan yang saling terpaut, Arial membuka pintu yang menghubungkan rooftop yang ada di gedung kelas. Ia membawa Selma menapaki atap sekolah dengan lembaran kertas yang dipegang tangannya yang kosong.

Angin sore langsung menyapa keduanya, membuat kunciran rambut Selma berterbangan. Arial yang melihat pemandangan itu sempat tertegun sejenak. Kenapa bisa-bisanya gadis di sampingnya ini menjadi memesona hanya karena rambutnya yang bergerak-gerak.

"Kita ngapain ke sini?" Pertanyaan pertama yang Selma lontarkan. Ia menoleh, menatap Arial dari samping. Dengan perbedaan tinggi badan yang begitu jauh, Selma terpaksa harus mendongak untuk melihat wajah itu.

"Temenin gue," jawab Arial pendek. Membuat Selma sempat mengernyitkan kening, bingung. Namun ia tak ingin ambil pusing. Ada yang harus Selma suarakan selain pertanyaan retorik tadi.

"Tadi itu ... lo keren banget." Selma berujar seraya tersenyum tipis. Ia benar-benar kagum dengan pemuda yang ada di sampingnya ini. Ternyata di balik wajah tak bersahabat serta mulut sambalnya, Arial bisa menjadi begitu hangat ketika berada di atas panggung.

Dan Selma juga sedikit tidak menyangka, permainan drum Arial begitu memesona, pecah, dan penuh energik.

"Makasih, tapi gue emang keren, sih. Jadi biasa aja tuh."

Senyum Selma hilang setelah celetukan yang dikeluarkan Arial. Ia lupa, sosok yang berdiri di sampingnya ini masihlah Arial yang penuh dengan sifat angkuh dan soknya.

"Nyesel gue muji lo," sembur Selma dengan nada kesal yang kentara. Membuat Arial melengkungkan pelangi terbalik di bibirnya.

Dengan gerakan penuh kelembutan, Arial kembali menggenggam tangan Selma dan menuntun gadis itu untuk duduk di ujung rooftop yang memang tidak berpagar atau ditembok sama sekali.

Selma sempat bergidik ngeri ketika kedua kakinya ia biarkan bergantungan di sana. Tapi lama kelamaan sensasinya menjadi beda. Selma bisa merasakan rileks ketika angin segar kembali menyapa kulit.

Dari sini, pemandangan lapangan utama menjadi jelas terlihat. Masih banyak penonton di depan panggung, tak ketinggalan stand-stand berjejer di pinggir yang ramai pelanggan. Pemandangan yang sukses membuat Selma tersenyum sendiri, benar-benar pensi yang apik.

Teringat sesuatu, Selma mengeluarkan buku sketsa berikut pensil dari ranselnya. Pergerakan yang sempat membuat Arial mengernyit.

"Mau gambar apa?" tanya Arial penasaran. Sekarang Selma tengah membuka lembaran demi lemaran di buku sketsanya.

"Gue pengen gambar suasana di bawah sana. Jarang-jarang liat pemandangan gini," jawab Selma kalem. Terlihat gadis itu mulai menggoreskan pensilnya di atas kertas.

Seperti kejadian di Dago tempo hari, Arial kembali terpana melihat raut jeli dan keseriusan yang terpatri di wajah itu. Ditambah angin nakal yang menerbangkan kunciran rambut Selma ke kanan-kiri.

Tak bisa menahan rasa gemasnya, tangan Arial mendarat di puncak kepala Selma. Mengusap-ngusapnya pelan seraya menyunggingkan senyum. Namun pergerakan itu sama sekali tak diindahkan Selma, ia seolah-olah membiarkan saja tangan Arial berbuat sesukanya. Dan itu, membuat Arial bersyukur.

Bersyukur Selma tak perlu melihat raut wajah bahagianya sekarang.

Seolah teringat sesuatu, Arial menurunkan tangannya dari puncak kepala Selma. Merogoh saku celananya dan mengeluarkan ponsel dari sana.

Halcyon [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang