Mama dan papanya resmi berpisah ketika Audya menjelang naik kelas 11. Kejadian itu cukup membuatnya terpukul mundur. Meskipun memang Audya jarang sekali melihat orangtuanya akur, tetap saja kenyataan bahwa mereka resmi berpisah membuatnya down.
Waktu itu, ia masih bisa berdiri tegak. Masih bisa tersenyum tanpa kepalsuan, juga masih bisa memilih ingin tinggal dengan siapa—mama atau papanya.
Ada satu orang yang Audya jadikan support system-nya saat itu. Orang yang selalu mendengar dan merangkulnya. Orang yang selalu mendorongnya untuk tetap berpikiran positif. Dan ... orang yang selalu ada untuknya.
Sosok itu bernama Arial Radezka Wirasena.
Cowok yang sudah membantunya saat hari pertama MPLS. Meskipun menjadikan Arial sahabat tidaklah mudah, namun Audya berhasil menerobos dinding pertahanan cowok itu.
Mereka dekat, mereka selalu menghabiskan waktu bersama. Entah itu mengerjakan tugas bersama di gazebo taman belakang. Menemani Arial selesai rapat OSIS. Menunggu Arial di pinggir lapangan seraya menatap permainan futsal cowok itu. Atau kadang Arial yang menunggu Audya sampai selesai dengan praktek pertolongan pertamanya di ekskul PMR.
Kala itu, semuanya terlihat baik-baik saja. Terlihat harmonis dan akur. Sampai suatu hari, perasaan Audya tak terkendali. Ia tak bisa menatap Arial lagi dengan cara yang sama.
Arial yang dikenalnya sangat perhatian meski bermulut pedas dan tajam. Kini, Audya menatap hal itu dengan pandangan yang berbeda. Menganggap apa yang ada pada diri Arial adalah daya tarik tersendiri.
Hari-hari berlalu dan Audya semakin tak bisa mengendalikan perasaannya. Ia ingin hubungannya dengan Arial bukan sekadar sahabat. Sampai ia memberanikan diri mengungkapkan perasaannya pada cowok itu.
Bahwa Audya menyayangi Arial, lebih dari sahabat.
Bahwa Audya ingin hubungan mereka bukan hanya sekadar sahabat.
Bahwa Audya, ingin mereka menjalin hubungan.
Namun, Audya lupa, Arial adalah seseorang yang sangat menghargai pertemanan. Cowok itu mungkin tidak suka dengan apa yang diungkapkan Audya, karena itu bisa merusak citra pertemanan yang sudah susah payah ia jaga.
Sampai dimana hubungan keduanya merenggang. Arial menjauh. Cowok itu seolah membentangkan jarak antara keduanya. Hal yang selama ini Audya takutkan terjadi. Keduanya menjadi asing. Arial mendadak jauh dari jangkauan Audya.
Dan, puncaknya adalah ketika Audya sekali lagi mengungkapkan perasaannya pada Arial, di koridor sekolah. Memberikan pertanyaan serupa pada cowok itu apakah hubungan mereka benar-benar tidak bisa lebih dari sahabat.
Tidak.
Arial benar-benar tidak bisa. Dan Audya kini tahu mengapa itu bisa terjadi. Ada seseorang yang sudah mengisi hati cowok itu. Seseorang yang mungkin selama ini luput dari perhatiannya.
Susah payah Audya untuk bisa menerima dan bangkit lagi. Nyatanya itu semua tak pernah mudah. Bayang-bayang Arial masih menghantui setiap langkahnya. Memaksa Audya mengingat kembali kenangan mereka dulu. Juga kenangan dimana Audya seolah-olah mengemis perhatian Arial. Mulai dari menghubungi cowok itu kapan saja, menemuinya di ruang OSIS. Menunggunya sampai selesai latihan futsal—yang berujung tak diacuhkan sama sekali.
Kenangan yang mengindikasikan seolah-olah Audya tidak tahu malu karena sudah mengejar-ngejar seseorang yang sama sekali tidak bisa membalas perasaannya.
Nyatanya menghilangkan semua itu tak pernah mudah. Audya masih sering kepikiran.
"Audya." Suara berat bernada rendah itu melempar Audya kembali pada kenyataan. Gadis itu baru saja tersadar bahwa ia sudah lama sekali melamunkan hal-hal yang akhir ini masih sering mengganggu pikirannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Halcyon [Completed]
Fiksi RemajaSelma Tabitha bukanlah murid terkenal di Star High. Gadis berambut sebahu itu hanyalah siswi biasa yang beruntung bisa terangkat menjadi ketua drawing club. Hidupnya tenang-tenang saja dan terkesan monoton. Sampai suatu hari Selma melakukan sebuah k...