[3] Strangeness

485 58 4
                                    

Selma menarik kursi meja makan dan duduk di sana dengan tenang. Gadis itu mengambil alih piring berisikan nasi goreng yang sudah disiapkan sedari tadi oleh ART rumahnya, dan mulai makan dengan tenang.

Suasana sarapan keluarga Selma pagi ini berlangsung hening. Namun, itu hanya bertahan beberapa menit saja kala kepala keluarga mulai membuka suara.

"Gimana sekolah kalian?" tanya Vian-- Papa dari Selma juga Azel.

"Sekolah Azel baik-baik aja kok, Pa." Azel menjawab duluan.

"Selma juga," timpal Selma ikut-ikutan, tak lupa ia mengulas senyum tipis.

Vian tampak mengangguk-anggukan kepala tanda mengerti. Pria itu terlihat meneguk kopinya dan kembali berucap, "Papa denger bulan depan udah dibuka pendaftaran OSN. Kalian gak ada niat buat ikutan?"

Selma meneguk salivanya kasar kala mendengar pertanyaan Vian. Sudah tahu, akan kemana percakapan ini bermuara.

"Azel bakalan ikut daftar dong, Pa. Udah direkomendasiin sama Pak Broto buat ambil mapel Fisika," jawab Azel dengan raut wajah ceria.

"Bagus itu Azel," timpal Riana-- Mama dari Selma juga Azel.

"Selma sendiri gimana?" tanya Vian, kini beralih kepada putri bungsunya.

Tangan Selma yang tadinya memegang sendok sontak terlepas. Gadis itu terlebih dahulu meminum segelas susu yang sudah disediakan untuknya. "Belum kepikiran untuk ikutan, sih, Pa. Tapi Selma bakalan usahain."

"Emang kamu bisa ikut OSN? Kamu, 'kan, jurusan IPS." Riana berujar dengan nada santai, tapi Selma sama sekali tak santai dengan ucapan itu.

"Mama ini gimana, jurusan IPS tetep bisa ikut OSN-lah. Tapi emang terbatas aja, cuman bisa ambil mapel Geografi, Kebumian dan Ekonomi."

"Sampe sekarang Mama tuh kadang bingung, kenapa dulu Selma kekeuh banget pengen masuk IPS. Padahal nilai-nilainya tuh cukup buat gabung ke IPA."

"Mama lupa, ya? Selma, 'kan, pengen jadi pengacara." Azel menimpali ucapan Mamanya.

"Tapi sayang aja gitu lho, Zel. Mama tuh mau kalian berdua bisa masuk IPA juga, biar bisa sekelas. Biar Selma juga bisa jagain kamu."

Azel tersenyum tipis mendengar ucapan Riana. "Mama tenang aja, Azel baik-baik aja kok."

"Iya nih Mama, suka berlebihan gitu ah kalo udah menyangkut Azel," sahut Vian berniat bergurau. Tapi itu sama sekali tak disambut baik oleh Riana, wanita itu malah mengerucutkan bibir pertanda kesal.

"Emang Papa gak khawatir sama keadaan Azel? Sakitnya tuh kadang-kadang kambuh di sekolah. Mama sering dapet laporan dari wali kelasnya dia."

"Jelas Papa khawatir, tapi Papa yakin kok, Azel bisa jaga diri dengan baik," ujar Vian tersenyum menatap putri sulungnya.

"Bener kata Papa, Azel bisa jaga diri. Jadi Mama gak usah terlalu khawatir, obatnya udah sering kubawa juga kok."

Riana menghembuskan napas pelan, lantas menatap Azel dengan teduh. Putri sulungnya itu memang terlihat sehat di luar, tapi banyak yang tidak tahu kalau Azel sedang berjuang untuk hidup hanya dengan satu ginjal.

"Mama natapnya kayak gitu banget, sih, Azel baik-baik aja kok, Ma," tegur Azel seraya terkekeh. Membuat Riana mau tak mau ikutan melengkungkan pelangi terbalik di bibirnya.

"Selma udah selesai, mau berangkat sekarang." Selma membuka suara setelah beberapa menit dia hanya menjadi pendengar. Gadis itu meraih ransel biru mudanya yang tergeletak di dekat kursi dan menyampirkannya di pundak.

"Gak mau berangkat sama gue aja?" tanya Azel seraya menaikkan alisnya satu.

"Gak usah," jawab Selma sembari tersenyum ramah. Ia segera mencium punggung tangan Vian serta Riana seraya mengucap salam. Setelah itu, Selma segera melenggang dari sana.

Halcyon [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang